02 Oktober 2008

Kematian

Kabar kematian seorang teman sampai di telinga saya pada sebuah senja di bulan Ramadhan. Teman saya bernama Yudhis. Dia seorang aktivis dan pemikir dan sedang menempuh master philosophy di New Delhi University, India. Penyebab kematian sementara karena keracunan makanan.

Entah mengapa, setiap mendengar berita kematian kini reaksi saya biasa-biasa saja. Mungkin karena saya pernah melihat langsung kematian, ketika ayah tercinta meninggal di bulan ramadhan setahun lalu. Dulu saya menganggap kematian sebuah titik akhir perjalanan, namun setelah banyak membaca buku tentang kematian dan reinkarnasi anggapan saya gugur. Kematian bukanlah sebuah akhir. Kelahiran dan kematian bukanlah sebuah garis lurus. Tak ada yang disebut ‘kematian’ atau ‘kelahiran’ sebenarnya. Sebab roh atau jiwa itu abadi. Hanya badan saja yang mati. Jiwa tak pernah mati. Jiwa adalah energi, dan ilmu fisika mengatakan energi itu kekal. Badan dalam Bhagawad Gita diibaratkan sebagai sebuah pakaian. "Sebagaimana kau melepaskan pakaianmu yang lama dan memakai pakaian baru, begitu pula jiwa ini meninggalkan badannya yang lama dan menghuni badan baru." Metafor yang sangat indah. Lalu mengapa kematian begitu menyedihkan, begitu mengharu-biru? Sebab kita tak tahu apa itu kematian, sebab kematian oleh masyarakat telah dikontruksi sedemikian rupa sehingga kita memperoleh gambaran tentang kematian sebagai sesuatu yang menyeramkan, menakutkan. Kematian adalah akhir segalanya.

Tidak. Kematian bukanlah sesuatu yang luar biasa. Kematian adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, sama seperti sebuah Kelahiran, kelahiran seorang anak atau anggota keluarga baru yang kita sambut gembira dengan senyuman dan tawa riang. Alangkah indahnya jika melihat kematian reaksi kita sama ketika melihat kelahiran. Sebab kelahiran bukanlah titik awal dan kematian bukanlah titik akhir kehidupan. Sebab kehidupan tidak berawal dan berakhir. Kehidupan adalah sebuah perjalanan abadi. Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah sajak Jalaluddin Rumi:

Aku mati sebagai mineral

dan menjelma sebagai tumbuhan,

aku mati sebagai tumbuhan

dan lahir kembali sebagai binatang

Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.

Kenapa aku harus takut?

Maut tidak pernah mengurangi

sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,

aku masih harus mati sebagai manusia,

dan lahir di alam para malaikat.

Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,

aku harus mati lagi;

Karena, kecuali Tuhan,

tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,

aku masih harus menjelma lagi

alam bentuk yang tak kupahami.

Ah, biarkan diriku lenyap,

memasuki kekosongan, kasunyataan

Karena hanya dalam kasunyataan itu

terdengar nyanyian mulia;

“Kepada Nya, kita semua akan kembali”

Denpasar, 02 Oktober 2008


3 komentar:

Anonim mengatakan...

Aku juga memiliki pemahaman seperti ini. Tapi entahlah, aku tetap takut pada kematian sebesar apapun aku memupuk keberanian itu. Karena bagaimanapun juga, kesedihan akan kehilangan adalah sesuatu yang manusiawi.

Aku pun sering memimpikan bahwa ketika ada kematian, disana ada pula kebahagiaan yang lain. Seperti kebahagiaan anak kecil ketika mendapat mainan baru.

Semoga suatu saat aku mampu berpikir sepertimu, kawan

Angga Wijaya mengatakan...

Maka mari belajar 'mati'. Mati sebelum mati. Meditasi akan membawamu merasakan kematian. Bukan badan fisik yang mati, melainkan ego. Itulah makna 'mati sebelum mati'. Ada sesuatu di dalam diri yang mati.

Maka matilah sebelum mati. Sehingga suatu saat kita mampu menyambut kematian dengan senyuman.

Angga Wijaya mengatakan...

"Semoga suatu saat aku mampu berpikir sepertimu, kawan"

Jadilah dirimu sendiri, wendra. Tak perlu meniru orang lain. jadilah dirimu sendiri.