28 Oktober 2008

Ah!


Akhirnya aku bertemu Dia yang selama ini kurindu.
Kekasih, ijinkan aku mabuk dalam CintaMu. Dalam KetiadaanMu.

Angga.

19 Oktober 2008

Punk Hari Ini


Waktu terus berjalan, tiada yang di sisimu
Ingin keluar tuk dapatkan pemikiran baru
Kukesal hari ini, melihat di sekitar
Semuanya sama dan seragam, korban dari majalah
Dia pikir dia berbeda dan semua band mengkopi Blink
Dimanakah pemberontak, engkau bersembunyi ?
Bukankah ini penting…
Dan perasaanku membunuhku !

Kubenci semua yang tak pasti
Rambut spikey dibilang funky
Mall dipenuhi lambang anarki
Yang akhirnya hilang tak berarti
[Cheerleader ingin jadi punk rock star]

MTV hari ini, Rock'N Roll telah mati
Nyanyikan lagu orang lain dan kau akan terkenal
Coba tuk tak curiga, tak kuasa ku menahan
Penuh tattoo, juga piercing, nyanyikan lagu cengeng

(Sung by Superman Is Dead)

16 Oktober 2008

Rumah


Mereka yang tak berumah, tak akan membangun lagi
Mereka yang sendiri, akan lama menyendiri,
akan jaga, membaca, menulis surat yang panjang,
dan akan melangkah hilir mudik di jalanan
gelisah, bila dedaunan berterbangan.

Tulisan diatas adalah bait terakhir sajak ”Satu Hari di Musim Gugur" karya Rainer Maria Rilke, penyair Jerman yang saya kagumi. Mereka yang tak berumah, tak akan membangun lagi, bagian sajak yang bisa jadi merupakan gambaran kehidupan pribadi sang penyair yang kerap berpindah tempat dan alamat.

Tapi kali ini saya melihat pemandangan lain. Sekelompok anak muda, laki-perempuan sedang duduk bergerombol di pinggir jalan dengan dandanan yang unik; rambut bercat, bercelana jeans ketat, agak lusuh, membawa gitar kecil. Mereka menyebut diri mereka anak punk dan apa yang mereka lakukan mereka sebut nyetrit, yang artinya hidup di jalanan. Mereka tak berumah, atau tepatnya meninggalkan rumah, pergi dari rumah, lalu memilih hidup menggelandang dari satu kota ke kota lain. Dari satu komunitas punk ke komunitas punk yang lain.

Punk adalah sesuatu yang baru di Indonesia. Ia berasal dari Barat, tepatnya London, Inggris. Punk merupakan sub-budaya yang berawal dari gerakan anak-anak kelas pekerja yang gelisah melihat keadaan sosial-politik yang karut-marut yang dipicu oleh kemerosotan moral tokoh politik yang memicu tingkat penggangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial bahkan agama.

Punk mulai masuk ke Indonesia sekitar 1970-an, dan mengalami kejayaan pada 1990-an. Tak beda dengan di negara lain, di Indonesia punk dianggap sebagai gerombolan remaja pembuat onar, atau sekedar aliran musik keras yang tak jelas. Namun ada yang menarik dari anak-anak Punk. Berbekal semangat DIY (do it yourself) komunitas punk di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Malang mulai merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro. CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi's, Adidas, Nike, Calvin Klein dan barang bermerek luar negeri lainnya.

Dalam perjalanannya Punk akhirnya menjadi sebuah counter culture atau budaya tandingan. Komunitas punk mempunyai budaya, aturan dan simbol-simbol yang diciptakan sendiri, yang berbeda dengan mainstream yang berlaku dalam masyarakat secara umum dimana komunitas punk berada. Punk kemudian memberikan sebuah alternatif gaya hidup yang kental dengan nilai anti kemapanan dan anarkisme. Anarkisme yang tidak berarti sebagai sebuah tindak perusakan, perkelahian, atau kekerasan massal, namun anarkisme sebagai sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi negara adalah sebuah bentuk kediktaktoran legal yang harus diakhiri. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti hidup tanpa aturan yang mengekang, baik dari masyarakat atau perusahaan rekaman. Filosofi semacam inilah yang lazim mereka sebut sebagai DIY (do it yourself/lakukan sendiri). Sedapat mungkin tidak bergantung pada orang lain, juga tidak membeli barang-barang yang masih bisa diadakan sendiri.

Tidak sekadar kabur dari rumah dan menggelandang di jalanan, memang.

11 Oktober 2008

Radio Merah dari Ibu


Aku ingin mengenal dunia, berkata aku kepada Ibu pada suatu pagi. Ibu tak menjawab, ia hanya menyuruhku mandi kemudian mengantarku ke toko kelontong di kota membelikanku radio mungil berwarna merah.

Aku gembira dengan mainan baruku. Dari dalam radio aku mendengar nama tuhan, terjang sepatu, rentetan tembakan kematian, sandiwara manusia.

Denpasar, 2006

09 Oktober 2008

Requiem

Dona
Nobis

Pacem


Kurasakan
dingin dadamu
malam ini

Menanti pagi
bunyi lonceng
usap sengal
perjamuan

Tak kudengar
nyanyian misa
pengakuan dosa
rosario para santo

Orang-orang
melintas cemas
lorong sempit
perjalanan

Tempat
apakah
ini ?

Hujan turun
sepanjang hari
iris tubuhku
jadi potongan
kematian
tanpa peta
reinkarnasi
baju-baju
yang berganti

Aku berjalan
di keramaian
pasar-pasar
kepedihan
hitam mata
serupa paku
sekejap menelikung
ku

Kurasakan
dingin dadamu
malam ini


catatan: dona nobis pacem (latin)=anugerahilah kami damai

Denpasar, 2003

05 Oktober 2008

Fundamentalis

“Sedihnya, kita malah takut ketika membicarakan esensi agama dengan kritis. Padahal, kritis adalah awal dari iman dan keberagaman adalah dasar dari berkarya”, ujar Garin Nugroho seusai pameran yang bertajuk “Jejak Spiritualitas” di Muenchen, Jerman seperti yang dilansir harian Kompas 3 Oktober 2008. Ia juga berpendapat pada sebagian masyarakat religiositas muncul dalam bentuk simbol-simbol di permukaan saja.

Saya setuju apa yang dikatakan Garin. Memang kritis awal dari iman, memang pada sebagian masyarakat religiositas muncul dalam bentuk simbol-simbol di permukaan saja. Tapi sikap kritis dalam membicarakan esensi agama tidaklah selalu berakhir indah di negeri ini. Kita akan dicap melakukan pelecehan agama, dicap 'sesat’ ‘murtad’, ‘kafir’, atau yang paling parah kita akan diancam akan dibunuh, siapa saja boleh membunuh kita sebab darah kita telah dihalalkan oleh sebuah fatwa dari sebuah kelompok agama, seperti yang pernah menimpa aktivis kelompok liberal beberapa tahun lalu. Begitulah. Radikalisme agama nampak tumbuh subur beberapa tahun belakangan ini. Puncaknya pada 1 Juni lalu. Sekelompok orang yang sedang merayakan hari lahir Pancasila diserbu secara membabi-buta oleh gerombolan yang mengenakan atribut agama. Banyak korban yang terluka, gegar otak, patah tulang, tak terkecuali anak-anak dan perempuan. Sebagian lagi mengalami trauma psikis.

Apa sebenarnya penyebab tumbuh suburnya radikalisme agama di Indonesia? Banyak pengamat yang mengatakan kemiskinan adalah penyebab tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Tetapi tidak juga. Banyak dari mereka yang mapan secara ekonomi, lulusan universitas luar negeri, bahkan beberapa dari mereka adalah pejabat yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Mungkin penyebabnya karena sebuah pemahaman agama yang setengah-setengah, pemahaman agama secara literal atau sikap fanatik yang berlebihan yang sering juga dikaitkan dengan fundamentalisme agama. Dalam sebuah diskusi yang bertajuk "Fundamentalisme dan Masa Depan Indonesia" di Denpasar beberapa tahun lalu, Ulil Abshar-Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal, mengutip Karen Armstrong dalam buku Battle for God, menyebut bahwa fundamentalisme adalah akibat dari modernisasi yang hadir secara agresif sehingga memporakporandakan pandangan dunia lama agama-agama, dan dengan demikian menciptakan menciptakan sejenis keterangasingan dan keterlunta-luntaan simbolik. Sebagai akibatnya, manusia modern mencari tempat pengasingan yang dapat melindungi mereka dari serbuan modernisasi yang agresif; tempat perlindungan atau suaka itu tak lain adalah agama. Ullil juga menyebut dua model fundamentalisme: rejeksionis dan eskapiestik. Fundamentalisme rejeksionis adalah fundamentalisme yang menolak seluruh warisan modernitas seperti tampak dalam pandangan Sayyid Qutb, pemikir Islam dari Mesir yang dianggap sebagai bapak doktrinal fundamentalisme Islam modern, atau Ayatollah Khomaeni dalam awal-awal revolusi Iran. Kaum fundamentalis Islam yang rejeksionis menolak demokrasi sebagai system pangaturan kehidupan social, karena demokrasi adalah sebentuk subversi atau kudeta terhadap kekuasaan Tuhan yang Mutlak dan menggantinya dengan kekuasaan rakyat. Fundamentalisme jenis kedua, yakni fundamentalisme eskapis-piestistik adalah jenis fundamentalisme yang menghendaki suatu cara hidup yang “lain”. Yang berbeda dari cara hidup sekuler. Fundamentalisme jenis ini adalah jawaban atas problem keterasingan yang dialami manusia modern. Seorang perempuan Muslimah yang memakai jilbab merasa bahwa dengan memakai secarik kain di kepala itu ia merasa “aman” dari gempuran modernitas yang mengasingkan; dengan secarik kain itu ia telah merasa “pulang kampung” dan menikmati hidup yang aman dan tenang. Tema utama dalam fundamentalisme kedua ini adalah ketenangan batin. Dalam bentuknya yang ekstrim, fundamantalisme kedua ini bisa mengambil bentuk “menarik diri” dari kehidupan umum, karena yang terakhir itu telah mengalami polusi yang parah oleh nilai-nilai sekuler yang bertentangan dengan nilai agama. Karena itulah, dalam fundamentalisme kedua ini kita kerap kali mengendus semangat eskapisme atau pelarian diri dari kehidupan dunia. Mistisisme, New Age, Klenik, dan sebagainya, merupakan alternatife yang digemari orang-orang modern yang ingin mancari ketenangan batin. Beda antara fundamantalisme jenis pertama dengan kedua adalah: yang pertama bersifat destruktif dan supremasis, yang kedua tidak, yang pertama ingin menggantikan “kota manusia” dengan “kota Tuhan”, sementara yang kedua sekedar hendak membangun “bilik Tuhan” yang kecil di pojok rumah sebagai tempat untuk khalwat atau retreat dari kehidupan umum yang mengalami proses pembendaan atau sekularisasi. Pada akhir makalahnya Ulil menulis “fundamentalisme jelas bukan masa depan Indonesia, terutama fundamentalisme rejeksionis. Yang kita perlukan di masa depan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak memandang dirinya sebagai bersifat mutlak dan supremasis. Saya melihat bahwa salah satu tugas penting ke depan bagi seluruh agama adalah mengembangkan suatu pandangan keagamaan yang menyadari tentang universalitas kemanusiaan yang sensitive terhadap keragaman. Pandangan keagamaan yang terlalu menekankan keunikan seraya melupakan segi kemanusiaan yang universal jelas kurang menguntungkan bagi kita.”

Sebagai intelektual muslim Ulil mungkin hanya ingin menyoroti fundamentalisme dalam Islam. Namun fundamentalisme juga terdapat dalam agama Hindu, Kristen, Buddha, Konghucu. Fundamentalisme ada di semua agama. Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa sutradara Garin Nugroho dan novelis Dewi Lestari yang karya mereka dituduh telah melecehkan agama Hindu oleh sebuah forum intektual hindu di Denpasar. Sebuah tuduhan yang tak berdasar sebab Garin Nugroho hanyalah mengangkat cerita dalam Ramayana ke dalam film dan Dewi Lestari hanya memasang simbol ‘OM” dalam sampul novelnya, novel yang spiritual yang banyak mengangkat nilai-nilai buddhisme. Maka itu saya sepakat dengan apa yang dikatakan Ulil. Fundamentalisme jelas bukan masa depan Indonesia. Fundamentalisme tidak cocok diterapkan di Indonesia. Indonesia adalah negara yang menjunjung nilai-nilai keragaman. Bukan keseragaman. Indonesia bukan negara agama. Bukan pula negara sekular. Indonesia berdasar atas Pancasila, yang telah terbukti berhasil mendamaikan segala perbedaan.

Denpasar, 5 Oktober 2008

03 Oktober 2008

Selebriti

Cita-cita saya kini hanya satu: menjadi Selebriti. Bukan ‘selebriti’ dalam pengertian kita selama ini, selebriti yang setiap hari menghiasi layar kaca lengkap dengan berita-berita tentang mereka; perceraian, perselingkuhan, pernikahan, perpecahan keluarga. Selebriti yang saya maksud adalah mereka yang merayakan kehidupan, yang melihat kehidupan sebagai sebuah perayaan, sebuah celebration. Mereka yang menari, bernyanyi, tertawa bersama kehidupan. Mereka yang melihat kehidupan sebagai sesuatu yang tak serius-serius amat. Mereka yang menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran.

Merekalah para Buddha--yang berarti: Ia yang telah terjaga. Muhammad, Buddha, Krishna, Jesus adalah para Buddha. Merekalah para Selebriti Sejati. Kita pun bisa seperti mereka. Lupakan sejenak doktrin-doktrin, dogma-dogma agama yang mengatakan manusia penuh dosa dan kesempurnaan hanya bisa dicapai oleh mereka para agamawan, para pemuka agama, para nabi. Saya tak percaya itu. Bagi saya apa yang pernah dicapai para nabi, para Buddha dapat dicapai oleh setiap orang, tanpa terkecuali. Kenabian atau kebuddhan adalah sebuah pencapaian, tidak jatuh langsung dari langit. Mereka manusia biasa yang juga berproses, jatuh bangun dalam perjalanan hidup mereka. Yang membuat para nabi, para Buddha berbeda dari orang kebanyakan adalah kemanusiaan mereka. Mereka sangat manusiawi, dan kemanusiaan itulah yang membuat mereka dikenang sepanjang masa.

Merayakan kehidupan juga berarti berkata ‘ya’ pada kehidupan. Menerima apapun yang datang, apapun yang Kehidupan berikan kepada kita. Menerima kehidupan dengan segala dualitasnya; baik-buruk, gelap-terang, siang-malam, kebahagiaan-kesedihan, kelahiran-kematian. Menerima kehidupan sebagaimana adanya. Penerimaan Total. Karena dengan menerima dualitas kita dapat melampaui dualitas, maka ketika mengalami kesedihan sikap kita sama ketika mengalami kebahagiaan. Kita menjadi seimbang. Hidup menjadi sebuah perayaan, sebuah nyanyian, dan kita tertawa dan bernyanyi bersama kehidupan. Kita pun telah menjadi selebriti. Selebriti Sejati.

Tertarik menjadi Selebriti?

Denpasar, 03 Oktober 2008

02 Oktober 2008

Kematian

Kabar kematian seorang teman sampai di telinga saya pada sebuah senja di bulan Ramadhan. Teman saya bernama Yudhis. Dia seorang aktivis dan pemikir dan sedang menempuh master philosophy di New Delhi University, India. Penyebab kematian sementara karena keracunan makanan.

Entah mengapa, setiap mendengar berita kematian kini reaksi saya biasa-biasa saja. Mungkin karena saya pernah melihat langsung kematian, ketika ayah tercinta meninggal di bulan ramadhan setahun lalu. Dulu saya menganggap kematian sebuah titik akhir perjalanan, namun setelah banyak membaca buku tentang kematian dan reinkarnasi anggapan saya gugur. Kematian bukanlah sebuah akhir. Kelahiran dan kematian bukanlah sebuah garis lurus. Tak ada yang disebut ‘kematian’ atau ‘kelahiran’ sebenarnya. Sebab roh atau jiwa itu abadi. Hanya badan saja yang mati. Jiwa tak pernah mati. Jiwa adalah energi, dan ilmu fisika mengatakan energi itu kekal. Badan dalam Bhagawad Gita diibaratkan sebagai sebuah pakaian. "Sebagaimana kau melepaskan pakaianmu yang lama dan memakai pakaian baru, begitu pula jiwa ini meninggalkan badannya yang lama dan menghuni badan baru." Metafor yang sangat indah. Lalu mengapa kematian begitu menyedihkan, begitu mengharu-biru? Sebab kita tak tahu apa itu kematian, sebab kematian oleh masyarakat telah dikontruksi sedemikian rupa sehingga kita memperoleh gambaran tentang kematian sebagai sesuatu yang menyeramkan, menakutkan. Kematian adalah akhir segalanya.

Tidak. Kematian bukanlah sesuatu yang luar biasa. Kematian adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, sama seperti sebuah Kelahiran, kelahiran seorang anak atau anggota keluarga baru yang kita sambut gembira dengan senyuman dan tawa riang. Alangkah indahnya jika melihat kematian reaksi kita sama ketika melihat kelahiran. Sebab kelahiran bukanlah titik awal dan kematian bukanlah titik akhir kehidupan. Sebab kehidupan tidak berawal dan berakhir. Kehidupan adalah sebuah perjalanan abadi. Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah sajak Jalaluddin Rumi:

Aku mati sebagai mineral

dan menjelma sebagai tumbuhan,

aku mati sebagai tumbuhan

dan lahir kembali sebagai binatang

Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.

Kenapa aku harus takut?

Maut tidak pernah mengurangi

sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,

aku masih harus mati sebagai manusia,

dan lahir di alam para malaikat.

Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,

aku harus mati lagi;

Karena, kecuali Tuhan,

tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,

aku masih harus menjelma lagi

alam bentuk yang tak kupahami.

Ah, biarkan diriku lenyap,

memasuki kekosongan, kasunyataan

Karena hanya dalam kasunyataan itu

terdengar nyanyian mulia;

“Kepada Nya, kita semua akan kembali”

Denpasar, 02 Oktober 2008


01 Oktober 2008

Sufi


Sufi Kota Mencari Tuhan. Itulah laporan utama majalah Tempo edisi minggu ini. Liputan yang menarik mengenai fenomena merebaknya sufisme di kota-kota besar. Sufi, yang merupakan istilah bagi mereka yang mendalami tasawuf, dengan jalan menyucikan diri –sebagaimana makna ”sufi” yang berasal dari kata ”safa” yang berarti kesucian. Mereka memperbanyak zikir, puasa, menggenapi salat sunah, dan belajar hidup sederhana (zuhud). Bagi yang lebih serius, mereka berkhalwat (menyepi) ke luar kota selama beberapa hari untuk berzikir. Ada pula yang menekuni tarian Rumi (whirling dervishes), atau berguru pada seorang mursyid (guru) di sebuah kelompok tarekat.

Julia Day Howel, antropolog dari Universitas Griffith Australia, menyebut fenomena ini sebagai fenomena sufi urban. Mereka yang ramai-ramai belajar tasawuf kebanyakan orang-orang muda yang secara ekonomi telah mapan. Mereka tak lagi mempermasalahkan 'tarif' yang dipasang lembaga-lembaga yang menjajakan tasawuf. Memang, ketika seseorang telah mapan secara ekonomi biasanya merasa ‘hampa’, lalu mencoba mengisi kehampaan itu dengan berjalan ke dalam diri melalui tasawuf.

Namun, seperti yang ditulis Tempo, orang-orang yang belajar tasawuf lebih untuk meningkatkan spiritualisme pribadi, bukan spiritualisme kolektif. Sufisme cuma punya efek terhadap diri sendiri, belum pada lingkungan di luar dirinya. Mereka lebih sibuk mengurusi Tuhan, yang sebetulnya tak meminta diurus, ketimbang mengurusi kemaslahatan bersama. Mereka ini sesungguhnya telah melupakan esensi tasawuf yang jauh lebih penting: khidmat, pelayanan terhadap manusia lain. Inilah dakwah bil hal yang sesungguhnya.

Sufi juga bukanlah sebuah eskapisme. Menjadi Sufi bukanlah pelarian; ia tidak melarikan diri dari masyarakat. Ia bukan seorang pertapa. Beberapa Sufi bisa jadi memilih untuk hidup sebagai fakir, tapi itu bukan satu-satunya pilihan. Itu bukan syarat ataupun kriteria utama untuk menjadi seorang Sufi.

Sufi, yang yakin bahwa agama mereka adalah agama Cinta, tentu menjadi penyejuk di tengah radikalisme agama yang menghalalkan kekerasan atas nama agama. Sufi adalah para pejalan di Jalan Cinta. Seperti yang pernah ditulis Ibn Arabi (1165-1240):

“Hatiku telah terbuka sepenuhnya: ini menjadi padang rumput bagi kawanan domba, biara bagi para pertapa, kuil bagi arca-arca sembahan, Kaaba bagi para peziarah, meja bagi kitab Taurat dan kitab Suci Alquran. Saya mempraktekkan agama cinta: Kemanapun arah kereta meluncur, agama cinta akan selalu menjadi agamaku dan keyakinanku”.

Denpasar, 01 Oktober 2008