15 Desember 2008

Ibu

...tatkala saya masih muda, saya telah gambarkan negara yang akan datang dan tanah air yang akan datang, tanah air yang kita pijak buminya itu, saya gambarkan sebagai ibu kita. Ibu, oleh karena itu kita berkata Ibu Pertiwi. Ibu, dan kita menyebutkan negara kita pada zaman dahulu, Mataram. Ibu…Dan kita pun sekarang berkata, bukan saja Mataram, tetapi Ibu Pertiwi, Ibu kita. Kita berkewajiban jikalau benar-benar kita mencintai Ibu kita ini, kita harus menyumbang pada Ibu kita ini. Di dalam ucapan-ucapan saya tatkala saya masih muda, saya berkata, kita semuanya berkewajiban untuk menyumbangkan bunga, bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita ini. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa sumbangkan melati? Berilah melati. Engkau bisa menyumbangkan apa? Bisa menyumbangkan mawar? Berilah mawar. Engkau bisa menyumbangkan apa? Bisa menyumbangkan kenanga? Berilah kenanga.

Tulisan di atas berasal dari Soekarno dalam buku Revolusi Belum Selesai Jilid 1, Halaman 388-389. Sengaja saya kutip tulisan beliau untuk mengingatkan kita semua bahwa pernah ada pemimpin besar bernama Soekarno yang begitu mencintai tanah airnya. Kata-kata dalam tulisan di atas sudah cukup membuktikan betapa beliau mencintai Indonesia, tanah air yang digambarkan sebagai seorang ibu yang harus dihormati dan dicintai, sesuatu yang kini telah terlupakan oleh kita semua, oleh mereka yang kita percayakan menjadi pemimpin kita saat ini.

Lihatlah, di saat banyak permasalahan negeri yang belum teratasi wakil kita di DPR malah sibuk menyusun undang-undang kontroversial bernama Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang kini telah disahkan oleh Presiden meski banyak mendapat reaksi keras masyarakat Bali, Papua, Sulawesi Utara, dan propinsi lainnya yang merasa terancam dengan keberadaan undang-undang porno tersebut. Jadi jelas sudah para pemimpin kita saat ini telah melupakan sejarah bahwa negara ini terbentuk dari keberagaman, bukan keseragaman. Menjadi jelas juga bahwa kita telah melecehkan Ibu kita, Ibu Pertiwi, bahkan “memperkosa”nya beramai-ramai.

Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi bukanlah produk budaya kita. Budaya kita adalah budaya yang menjunjung tinggi perempuan, bukan budaya yang merendahkan perempuan dengan menganggap perempuan sebagai kriminal karena telah membangkitkan hasrat seksual laki-laki dan oleh sebab itu perempuan sebaiknya menutup tubuhnya rapat-rapat agar tak membuat hasrat laki-laki bangkit. Ini benar-benar bodoh dan menjijikkan. Di kemudian hari kita akan melihat berbagai tindakan main hakim sendiri oleh individu atau kelompok pada sesuatu yang dianggap porno karena undang-undang membolehkan itu. Sebuah keadaan yang mengingatkan saya pada budaya asing dimana perajaman (dilempar batu sampai mati) terhadap perempuan biasa terjadi. Budaya kekerasan yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi menjadi bukti bahwa kita telah benar-benar melupakan sejarah dan budaya kita. Kita menganggap budaya asing lebih baik lalu mencoba menerapkannya di bumi pertiwi. Kita juga telah buta dan tuli, memilih pemimpin yang ternyata masih takut berkata tidak pada ketidakbenaran. Semoga Ibu Pertiwi sudi mengampuni kita yang tetap bodoh dan mau dibodohi ini.

06 Desember 2008

Masa Depan


Matematika, Percaya Diri = Sukses! begitu kata sebuah iklan lembaga bimbingan belajar di sebuah perempatan jalan protokol yang kerap saya lewati. Ditulis pada sebuah baliho besar iklan tersebut memang mampu mencuri perhatian, setidaknya bagi pengguna jalan yang kebetulan berhenti ketika lampu lalu lintas menyala merah. Iklan yang cerdas menurut saya. Hanya dengan tiga kata iklan tersebut berusaha memberi opini bahwa sukses tak akan terwujud tanpa bekal percaya diri dan matematika, atau sukses dapat diraih jika kita pandai matematika ditambah rasa percaya diri.

Namun sukses dalam hidup tentu tak terwujud hanya dengan pandai matematika. Banyak ilmu lain yang harus kita kuasai, misalnya akuntansi, komputer, bahasa Inggris dan ilmu terapan lain. Maka itu banyak lembaga bimbingan belajar bermunculan menawarkan metode belajar yang konon mampu membuat anak-anak kita menjadi pandai dan memiliki bekal untuk masa depan mereka.

Sukses memang selalu dikaitkan dengan masa depan. Untuk itu banyak orang tua yang memasukkan anaknya di lembaga bimbingan belajar, ikut les ini-itu agar anak mereka pintar dan nilai-nilai mereka bagus, kalau perlu agar menjadi juara kelas. Semua bermuara pada satu kata: masa depan. Masa depan yang entah kapan datangnya, yang membuat anak-anak kita tak bisa lagi menikmati masa kanak-kanak atau remajanya, sebab waktu mereka dihabiskan untuk belajar dan belajar. Mereka tak sempat lagi bermain atau sekadar bergaul dengan lingkungan.

Karena alasan masa depan para pemuda-pemudi kita ramai-ramai ikut mendaftar sebagai peserta ujian CPNS sebab menurut mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS) kini menjanjikan. Karena alasan masa depan pula mereka yang baru tamat SLTA ramai-ramai melanjutkan studi ke universitas keguruan sebab menjadi guru kini memiliki prospek cerah bagi masa depan. Perkara mereka menyukai pekerjaan sebagai PNS atau guru yang hendaknya memiliki semangat mengabdi dan mendidik itu urusan belakangan.

Saya tidak terlalu percaya kepada sesuatu bernama masa depan. Menurut saya daripada menghabiskan energi memikirkan masa depan lebih baik kita memfokuskan diri pada masa kini. Sebab masa depan adalah apa yang kita lakukan pada masa kini, begitu pula masa kini adalah apa yang kita perbuat di masa lalu. Hiduplah pada masa kini, kata-kata yang sering kita dengar dari para nabi, orang-orang yang melakukan perjalanan ke dalam diri. Mereka telah menyadari kenisbian waktu jauh sebelum Albert Einstein menemukan teori relativitas. Hidup pada masa kini juga berarti kita tak mencemaskan masa depan atau menyesali masa lalu.

Maka masa depan atau masa lalu boleh jadi tak begitu merisaukan kita. Kita hidup di kekinian, mengisi waktu dengan belajar atau bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa memikirkan hasilnya nanti. Kita menjadi yakin akan kebijakan semesta, hukum aksi-reaksi, hukum karma. Kita tak takut atau cemas lagi dengan hantu masa depan atau setan masa lalu. Kita menjadi optimis menjalani kehidupan.

28 November 2008

Kritis

Seorang teman menerbitkan sebuah buku. Saya menghadiri acara peluncuran bukunya. Buku itu merupakan kumpulan tulisan tentang Bali. Buku yang menarik, mengingat tak banyak buku tentang Bali yang ditulis oleh orang Bali sendiri. Kebanyakan buku tentang Bali ditulis oleh orang asing yang tertarik akan keunikan budaya Bali atau mereka yang menulis karena kepentingan akademis. Mereka yang memposisikan diri sebagai outsider, sebagai orang luar, sebagai seorang pengamat.

Saya tak tahu apakah teman saya memposisikan diri sebagai orang luar atau orang dalam ketika menulis tentang Bali. Teman saya sejak lama bermukim di Jogja, melanjutkan studi di perguruan tinggi, dan kini telah menjadi sarjana. Memang, orang Bali yang tinggal di rantau dinilai lebih terbuka dan objektif dalam menilai Bali. Juga lebih kritis dan berani. Mungkin karena jarak yang jauh dengan tempat kelahiran yang membuat mereka lebih objektif menilai Bali. Mereka mulai mempertanyakan banyak hal yang selama ini tak pernah mereka pertanyakan ketika masih berada di Bali. Pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan kegelisahan, mungkin juga kecemasan tentang Bali. Kegelisahan ataupun kecemasan yang kemudian dituangkan dalam tulisan yang kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku.

Ada beberapa buku tentang Bali yang ditulis oleh orang Bali yang bermukim di luar Bali. Di antaranya buku Surat Merah untuk Bali (2007) yang ditulis oleh Putu Fajar Arcana, wartawan yang lama bermukim di Jakarta dan Jogja. Di buku itu, Fajar dengan suntuk dan cermat mengkaji tanah kelahirannya. Ia menyodorkan kegelisahannya terhadap bali dari lubuk hati, menjadi renungan, tidak gugatan. Ada juga Dewa Gde Palguna, hakim Mahkamah Konsitusi 2003-2008 yang menuangkan kegelisahannya dalam sebuah buku Saya Sungguh Mencemaskan Bali (2008). Pada 1986 Putu Setia juga menerbitkan buku Menggugat Bali, yang merupakan cacatan perjalanan tentang perubahan budaya Bali yang ditulis Putu setelah sepuluh tahun meninggalkan Bali.

Namun untuk menjadi kritis tentu tak perlu menjadi orang rantau, tinggal di luar Bali dan melihat Bali dari luar. Tetap tinggal di pulau atau dusun kelahiran juga mampu membuat kita tetap kritis. Keberjarakan dengan tempat asal dan budaya asal tidak mesti diterjemahkan dengan meninggalkan tempat kelahiran, menjadi orang rantau. Ada banyak orang Bali yang tetap tinggal di Bali namun sikap kritis mereka tak berkurang walaupun tetap berada di tanah kelahiran. Jarak adalah sesuatu yang bisa diciptakan. Mungkin itu sebabnya dalam kosakata bahasa Indonesia terdapat istilah “menjaga jarak”. Menjaga jarak itulah yang membuat kita kritis dan objektif melihat sesuatu, melihat tradisi, budaya, adat atau mungkin juga melihat diri kita sendiri. Diatas semua itu, sikap kritis perlu diterjemahkan menjadi sebuah langkah nyata untuk memperbaiki keadaan. Negeri ini membutuhkan orang-orang yang mau bekerja, tidak sekadar bicara saja. Tidak sekadar gelisah atau cemas saja.

22 November 2008

Langit

Untuk membaca sebuah peristiwa lihatlah tanda-tanda di langit, kata almarhum ayah saya beberapa tahun lampau. Dan kini saya melihat langit penuh dengan warna. Warna bendera-bendera partai berbagai ukuran, partai-partai peserta pemilu 2009 yang berjumlah puluhan Kemeriahan menyambut pemilu bolehlah kita sebut sebagai sebuah kemajuan demokrasi, kemajuan sebuah negara dunia ketiga yang sedang belajar berdemokrasi. Dalam sebuah diskusi tentang partai politik di mata para konsituen (masyarakat pemilih) yang diadakan sebuah LSM di Denpasar baru-baru ini terlihat bahwa partai politik di Indonesia kini hanya berpikir soal kekuasaan. Melulu kekuasaan. Partai politik akan peduli kepada rakyat hanya ketika menjelang pemilu atau pemilihan kepala daerah. Setelah pesta demokrasi usai rakyat tak lagi menjadi perhatian mereka. Tentang pendidikan politik yang idealnya diberikan oleh partai politik untuk mencerdaskan masyarakat masih jauh panggang dari api. Bahkan mereka memberi contoh yang buruk kepada masyarakat. Maka tak aneh politik menjadi sesuatu yang berkonotasi buruk, hanya soal uang dan kekuasaan. Padahal politik tak seperti itu. Politik adalah jalan untuk merubah keadaan. Politik tak selalu berkaitan dengan partai, dengan kekuasaan. Sadar akan hak sebagai warga negara juga bagian dari politik. Mengemukakan pendapat di muka umum juga bagian dari politik.

Namun politik terlanjur memiliki arti yang jelek, kotor. Bangsa ini memiliki trauma yang mendalam tentang politik. Tahun 1965 mungkin bisa menjelaskan itu. Jutaan orang yang dituduh berafiliasi dengan sebuah partai komunis dibunuh secara keji. Tanpa pengadilan, tanpa kesempatan untuk membela diri. Tahun 1965 adalah lembaran hitam bangsa Indonesia. Sampai kini belum jelas siapa bertanggung jawab atas pembunuhan massal tersebut. Lalu pemerintahan berganti.Orde baru berkuasa dengan tangan besi-nya. Politik dikebiri. Rakyat tak berani banyak bersuara. Mereka yang berani mengkritik pemerintah langsung ’diamankan’, kata lain dipenjara. Banyak yang tidak menyangka Orde Baru tumbang pada 1998. Bangsa Indonesia kemudian mengalami euforia politik. Partai politik banyak bermunculan, pemilihan kepala daerah dan kepala negara dilakukan secara langsung. Mungkin ini bisa disebut sebagai sebuah kemajuan demokrasi. Kemajuan demokrasi negara Ketiga yang tertatih-tatih bangun dari tidur panjangnya. Maka melihat meriahnya bendera-bendera partai dan foto para calon wakil rakyat yang terpampang di jalan-jalan saya melihatnya sebagai sebuah pembelajaran, kita sedang belajar berdemokrasi, belajar untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin, belajar untuk siap kalah dan siap menang. Lalu ketika terpilih siap untuk melayani, bukan sekadar menjadi penguasa. Bukan sekadar berpikir soal uang yang bisa didapat selama masa jabatan.

Semoga politik kembali ke makna sebenarnya. Politik yang tidak lagi identik dengan darah dan kekerasan. Namun identik dengan kesantunan dan kedewasaan. Politik yang memiliki prinsip, meminjam istilah Mahatma Gandhi.

20 November 2008

Mata Kamera


Foto ini adalah foto ketika demo menolak RUU Pornografi berlangsung di depan kantor gubernur di kawasan niti mandala, renon, pada sabtu (15/11). Perempuan yang sepertinya instruktur senam ini menari seperti hendak menunjukkan bahwa tubuh adalah milik individu dan negara tak usah mengurusnya. Ini tubuhku....

17 November 2008

Wartawan

Wartawan. Kata itu kini melekat dalam diriku. Ya, kini aku bekerja di sebuah tabloid di Denpasar. Tabloid yang terbit dua minggu sekali, yang mottonya begitu mulia, mencerdaskan masyarakat Bali.

Kini kau akan sering melihatku di jalan, di seminar-seminar, di acara-acara diskusi, membaca kamera, meliput berita, mewawancarai orang-orang.

Menjadi wartawan adalah babak baru dalam hidupku.

10 November 2008

06 November 2008

Diri Berubah, Dunia Pun Berubah

Judul buku : Be The Change; Menghidupi Kebijaksanaan Mahatma Gandhi
Penulis : Anand Krishna
Tebal Buku : 102 halaman + xlix
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2008

Perubahan atau change adalah kata yang sering kita dengar belakangan ini. Perubahan yang banyak disebut-sebut dalam berbagai kampanye pemilihan kepala daerah mapun kepala negara. Tak kurang Barack Obama, kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat menggunakan kata ”change” sebagai fokus kampanyenya. Namun apakah perubahan itu sebenarnya? Siapakah yang harus berubah dan bagaimana memulai perubahan itu? Buku ’Be The Change; Menghidupi Kebijaksanaan Mahatma Gandhi’ ini mungkin bisa menjawabnya. Ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna dan begitu mengalir, buku karya Anand Krishna, seorang nasionalis, aktivis spiritual, dan penulis buku-buku laris ini begitu padat dan berisi. Dalam buku ini Anand Krishna mengulas ajaran Mahatma Gandhi yang dikumpulkan oleh blogger Henrik Edberg, seorang penulis berbakat yang mengaku sangat terpengaruh oleh ajaran Mahatma Gandhi. Ajaran yang dirangkum menjadi 10 butir kebijaksanaan Gandhi.

Buku ini sebenarnya merupakan ungkapan keprihatinan Anand Krishna terhadap radikalisme agama yang kian merebak di Indonesia. Peristiwa 1 Juni di Monas, Jakarta membuktikan itu. Sekelompok orang dari pelbagai agama yang sedang memperingati kelahiran Pancasila diserang secara brutal oleh sekelompok orang yang sebagian berjubah putih, yang mengucapkan kata-kata agama dan memukul, menghantam, menendang, menusuk, melukai, dan menghina kelompok yang berkumpul itu. Banyak korban yang terluka, gegar otak, patah tulang, tak terkecuali anak-anak dan perempuan. Sebagian lagi mengalami trauma psikis. Kekerasan atas nama agama telah membuktikan bahwa radikalisme dan fundamentalisme agama memang ada tumbuh subur di Indonesia. Dan yang menjadi ironi negara seperti membiarkan semua itu terjadi bahkan salah satu menteri mengunjungi pelaku kekerasan peristiwa Monas. Bukan mengunjungi korban kekerasan.

Membicarakan kekerasan kita mau tak mau mesti berpaling kepada Gandhi. Itulah yang penulis buku ini ingin sampaikan. Gandhi, yang sepanjang hidupnya melakoni ahimsa, prinsip emoh kekerasan telah membuktikan bahwa kekerasan tak mesti dibalas dengan kekerasan. Mata tak harus dibalas mata. Ahimsa adalah senjata para pemberani, bukan para pengecut. ”Seorang lemah tidak dapat memaafkan. Kemampuan untuk memaafkan hanya ada pada mereka yang kuat. Bila pencungkilan mata dibalas dengan mencungkil mata, seluruh dunia akan menjadi buta”, kata Gandhi suatu ketika. Disinilah ahimsa menunjukkan kekuatannya. Ahimsa tidak sama dengan pesimisme. Ahimsa tidak melukai, tidak menyakiti, tidak membalas pukulan dengan pukulan, namun tetap tidak menerima aksi melukai, menyakiti dan memukuli. Ahimsa tidak menerima kekerasan, dengan dalih apapun, termasuk atas nama agama berdasarkan pemahaman agama yang sempit.

Dan perubahan mesti dimulai dari diri sendiri. Perubahan tak akan terjadi jika kita masih mengharapkan perubahan dari luar. Jika kekerasan telah menjadi kebiasaan di masyarakat maka jadilah penganut ahimsa, hiduplah dengan prinsip tanpa kekerasan. Kekerasan sekecil apapun.

28 Oktober 2008

Ah!


Akhirnya aku bertemu Dia yang selama ini kurindu.
Kekasih, ijinkan aku mabuk dalam CintaMu. Dalam KetiadaanMu.

Angga.

19 Oktober 2008

Punk Hari Ini


Waktu terus berjalan, tiada yang di sisimu
Ingin keluar tuk dapatkan pemikiran baru
Kukesal hari ini, melihat di sekitar
Semuanya sama dan seragam, korban dari majalah
Dia pikir dia berbeda dan semua band mengkopi Blink
Dimanakah pemberontak, engkau bersembunyi ?
Bukankah ini penting…
Dan perasaanku membunuhku !

Kubenci semua yang tak pasti
Rambut spikey dibilang funky
Mall dipenuhi lambang anarki
Yang akhirnya hilang tak berarti
[Cheerleader ingin jadi punk rock star]

MTV hari ini, Rock'N Roll telah mati
Nyanyikan lagu orang lain dan kau akan terkenal
Coba tuk tak curiga, tak kuasa ku menahan
Penuh tattoo, juga piercing, nyanyikan lagu cengeng

(Sung by Superman Is Dead)

16 Oktober 2008

Rumah


Mereka yang tak berumah, tak akan membangun lagi
Mereka yang sendiri, akan lama menyendiri,
akan jaga, membaca, menulis surat yang panjang,
dan akan melangkah hilir mudik di jalanan
gelisah, bila dedaunan berterbangan.

Tulisan diatas adalah bait terakhir sajak ”Satu Hari di Musim Gugur" karya Rainer Maria Rilke, penyair Jerman yang saya kagumi. Mereka yang tak berumah, tak akan membangun lagi, bagian sajak yang bisa jadi merupakan gambaran kehidupan pribadi sang penyair yang kerap berpindah tempat dan alamat.

Tapi kali ini saya melihat pemandangan lain. Sekelompok anak muda, laki-perempuan sedang duduk bergerombol di pinggir jalan dengan dandanan yang unik; rambut bercat, bercelana jeans ketat, agak lusuh, membawa gitar kecil. Mereka menyebut diri mereka anak punk dan apa yang mereka lakukan mereka sebut nyetrit, yang artinya hidup di jalanan. Mereka tak berumah, atau tepatnya meninggalkan rumah, pergi dari rumah, lalu memilih hidup menggelandang dari satu kota ke kota lain. Dari satu komunitas punk ke komunitas punk yang lain.

Punk adalah sesuatu yang baru di Indonesia. Ia berasal dari Barat, tepatnya London, Inggris. Punk merupakan sub-budaya yang berawal dari gerakan anak-anak kelas pekerja yang gelisah melihat keadaan sosial-politik yang karut-marut yang dipicu oleh kemerosotan moral tokoh politik yang memicu tingkat penggangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial bahkan agama.

Punk mulai masuk ke Indonesia sekitar 1970-an, dan mengalami kejayaan pada 1990-an. Tak beda dengan di negara lain, di Indonesia punk dianggap sebagai gerombolan remaja pembuat onar, atau sekedar aliran musik keras yang tak jelas. Namun ada yang menarik dari anak-anak Punk. Berbekal semangat DIY (do it yourself) komunitas punk di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Malang mulai merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro. CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi's, Adidas, Nike, Calvin Klein dan barang bermerek luar negeri lainnya.

Dalam perjalanannya Punk akhirnya menjadi sebuah counter culture atau budaya tandingan. Komunitas punk mempunyai budaya, aturan dan simbol-simbol yang diciptakan sendiri, yang berbeda dengan mainstream yang berlaku dalam masyarakat secara umum dimana komunitas punk berada. Punk kemudian memberikan sebuah alternatif gaya hidup yang kental dengan nilai anti kemapanan dan anarkisme. Anarkisme yang tidak berarti sebagai sebuah tindak perusakan, perkelahian, atau kekerasan massal, namun anarkisme sebagai sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi negara adalah sebuah bentuk kediktaktoran legal yang harus diakhiri. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti hidup tanpa aturan yang mengekang, baik dari masyarakat atau perusahaan rekaman. Filosofi semacam inilah yang lazim mereka sebut sebagai DIY (do it yourself/lakukan sendiri). Sedapat mungkin tidak bergantung pada orang lain, juga tidak membeli barang-barang yang masih bisa diadakan sendiri.

Tidak sekadar kabur dari rumah dan menggelandang di jalanan, memang.

11 Oktober 2008

Radio Merah dari Ibu


Aku ingin mengenal dunia, berkata aku kepada Ibu pada suatu pagi. Ibu tak menjawab, ia hanya menyuruhku mandi kemudian mengantarku ke toko kelontong di kota membelikanku radio mungil berwarna merah.

Aku gembira dengan mainan baruku. Dari dalam radio aku mendengar nama tuhan, terjang sepatu, rentetan tembakan kematian, sandiwara manusia.

Denpasar, 2006

09 Oktober 2008

Requiem

Dona
Nobis

Pacem


Kurasakan
dingin dadamu
malam ini

Menanti pagi
bunyi lonceng
usap sengal
perjamuan

Tak kudengar
nyanyian misa
pengakuan dosa
rosario para santo

Orang-orang
melintas cemas
lorong sempit
perjalanan

Tempat
apakah
ini ?

Hujan turun
sepanjang hari
iris tubuhku
jadi potongan
kematian
tanpa peta
reinkarnasi
baju-baju
yang berganti

Aku berjalan
di keramaian
pasar-pasar
kepedihan
hitam mata
serupa paku
sekejap menelikung
ku

Kurasakan
dingin dadamu
malam ini


catatan: dona nobis pacem (latin)=anugerahilah kami damai

Denpasar, 2003

05 Oktober 2008

Fundamentalis

“Sedihnya, kita malah takut ketika membicarakan esensi agama dengan kritis. Padahal, kritis adalah awal dari iman dan keberagaman adalah dasar dari berkarya”, ujar Garin Nugroho seusai pameran yang bertajuk “Jejak Spiritualitas” di Muenchen, Jerman seperti yang dilansir harian Kompas 3 Oktober 2008. Ia juga berpendapat pada sebagian masyarakat religiositas muncul dalam bentuk simbol-simbol di permukaan saja.

Saya setuju apa yang dikatakan Garin. Memang kritis awal dari iman, memang pada sebagian masyarakat religiositas muncul dalam bentuk simbol-simbol di permukaan saja. Tapi sikap kritis dalam membicarakan esensi agama tidaklah selalu berakhir indah di negeri ini. Kita akan dicap melakukan pelecehan agama, dicap 'sesat’ ‘murtad’, ‘kafir’, atau yang paling parah kita akan diancam akan dibunuh, siapa saja boleh membunuh kita sebab darah kita telah dihalalkan oleh sebuah fatwa dari sebuah kelompok agama, seperti yang pernah menimpa aktivis kelompok liberal beberapa tahun lalu. Begitulah. Radikalisme agama nampak tumbuh subur beberapa tahun belakangan ini. Puncaknya pada 1 Juni lalu. Sekelompok orang yang sedang merayakan hari lahir Pancasila diserbu secara membabi-buta oleh gerombolan yang mengenakan atribut agama. Banyak korban yang terluka, gegar otak, patah tulang, tak terkecuali anak-anak dan perempuan. Sebagian lagi mengalami trauma psikis.

Apa sebenarnya penyebab tumbuh suburnya radikalisme agama di Indonesia? Banyak pengamat yang mengatakan kemiskinan adalah penyebab tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Tetapi tidak juga. Banyak dari mereka yang mapan secara ekonomi, lulusan universitas luar negeri, bahkan beberapa dari mereka adalah pejabat yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Mungkin penyebabnya karena sebuah pemahaman agama yang setengah-setengah, pemahaman agama secara literal atau sikap fanatik yang berlebihan yang sering juga dikaitkan dengan fundamentalisme agama. Dalam sebuah diskusi yang bertajuk "Fundamentalisme dan Masa Depan Indonesia" di Denpasar beberapa tahun lalu, Ulil Abshar-Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal, mengutip Karen Armstrong dalam buku Battle for God, menyebut bahwa fundamentalisme adalah akibat dari modernisasi yang hadir secara agresif sehingga memporakporandakan pandangan dunia lama agama-agama, dan dengan demikian menciptakan menciptakan sejenis keterangasingan dan keterlunta-luntaan simbolik. Sebagai akibatnya, manusia modern mencari tempat pengasingan yang dapat melindungi mereka dari serbuan modernisasi yang agresif; tempat perlindungan atau suaka itu tak lain adalah agama. Ullil juga menyebut dua model fundamentalisme: rejeksionis dan eskapiestik. Fundamentalisme rejeksionis adalah fundamentalisme yang menolak seluruh warisan modernitas seperti tampak dalam pandangan Sayyid Qutb, pemikir Islam dari Mesir yang dianggap sebagai bapak doktrinal fundamentalisme Islam modern, atau Ayatollah Khomaeni dalam awal-awal revolusi Iran. Kaum fundamentalis Islam yang rejeksionis menolak demokrasi sebagai system pangaturan kehidupan social, karena demokrasi adalah sebentuk subversi atau kudeta terhadap kekuasaan Tuhan yang Mutlak dan menggantinya dengan kekuasaan rakyat. Fundamentalisme jenis kedua, yakni fundamentalisme eskapis-piestistik adalah jenis fundamentalisme yang menghendaki suatu cara hidup yang “lain”. Yang berbeda dari cara hidup sekuler. Fundamentalisme jenis ini adalah jawaban atas problem keterasingan yang dialami manusia modern. Seorang perempuan Muslimah yang memakai jilbab merasa bahwa dengan memakai secarik kain di kepala itu ia merasa “aman” dari gempuran modernitas yang mengasingkan; dengan secarik kain itu ia telah merasa “pulang kampung” dan menikmati hidup yang aman dan tenang. Tema utama dalam fundamentalisme kedua ini adalah ketenangan batin. Dalam bentuknya yang ekstrim, fundamantalisme kedua ini bisa mengambil bentuk “menarik diri” dari kehidupan umum, karena yang terakhir itu telah mengalami polusi yang parah oleh nilai-nilai sekuler yang bertentangan dengan nilai agama. Karena itulah, dalam fundamentalisme kedua ini kita kerap kali mengendus semangat eskapisme atau pelarian diri dari kehidupan dunia. Mistisisme, New Age, Klenik, dan sebagainya, merupakan alternatife yang digemari orang-orang modern yang ingin mancari ketenangan batin. Beda antara fundamantalisme jenis pertama dengan kedua adalah: yang pertama bersifat destruktif dan supremasis, yang kedua tidak, yang pertama ingin menggantikan “kota manusia” dengan “kota Tuhan”, sementara yang kedua sekedar hendak membangun “bilik Tuhan” yang kecil di pojok rumah sebagai tempat untuk khalwat atau retreat dari kehidupan umum yang mengalami proses pembendaan atau sekularisasi. Pada akhir makalahnya Ulil menulis “fundamentalisme jelas bukan masa depan Indonesia, terutama fundamentalisme rejeksionis. Yang kita perlukan di masa depan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak memandang dirinya sebagai bersifat mutlak dan supremasis. Saya melihat bahwa salah satu tugas penting ke depan bagi seluruh agama adalah mengembangkan suatu pandangan keagamaan yang menyadari tentang universalitas kemanusiaan yang sensitive terhadap keragaman. Pandangan keagamaan yang terlalu menekankan keunikan seraya melupakan segi kemanusiaan yang universal jelas kurang menguntungkan bagi kita.”

Sebagai intelektual muslim Ulil mungkin hanya ingin menyoroti fundamentalisme dalam Islam. Namun fundamentalisme juga terdapat dalam agama Hindu, Kristen, Buddha, Konghucu. Fundamentalisme ada di semua agama. Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa sutradara Garin Nugroho dan novelis Dewi Lestari yang karya mereka dituduh telah melecehkan agama Hindu oleh sebuah forum intektual hindu di Denpasar. Sebuah tuduhan yang tak berdasar sebab Garin Nugroho hanyalah mengangkat cerita dalam Ramayana ke dalam film dan Dewi Lestari hanya memasang simbol ‘OM” dalam sampul novelnya, novel yang spiritual yang banyak mengangkat nilai-nilai buddhisme. Maka itu saya sepakat dengan apa yang dikatakan Ulil. Fundamentalisme jelas bukan masa depan Indonesia. Fundamentalisme tidak cocok diterapkan di Indonesia. Indonesia adalah negara yang menjunjung nilai-nilai keragaman. Bukan keseragaman. Indonesia bukan negara agama. Bukan pula negara sekular. Indonesia berdasar atas Pancasila, yang telah terbukti berhasil mendamaikan segala perbedaan.

Denpasar, 5 Oktober 2008

03 Oktober 2008

Selebriti

Cita-cita saya kini hanya satu: menjadi Selebriti. Bukan ‘selebriti’ dalam pengertian kita selama ini, selebriti yang setiap hari menghiasi layar kaca lengkap dengan berita-berita tentang mereka; perceraian, perselingkuhan, pernikahan, perpecahan keluarga. Selebriti yang saya maksud adalah mereka yang merayakan kehidupan, yang melihat kehidupan sebagai sebuah perayaan, sebuah celebration. Mereka yang menari, bernyanyi, tertawa bersama kehidupan. Mereka yang melihat kehidupan sebagai sesuatu yang tak serius-serius amat. Mereka yang menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran.

Merekalah para Buddha--yang berarti: Ia yang telah terjaga. Muhammad, Buddha, Krishna, Jesus adalah para Buddha. Merekalah para Selebriti Sejati. Kita pun bisa seperti mereka. Lupakan sejenak doktrin-doktrin, dogma-dogma agama yang mengatakan manusia penuh dosa dan kesempurnaan hanya bisa dicapai oleh mereka para agamawan, para pemuka agama, para nabi. Saya tak percaya itu. Bagi saya apa yang pernah dicapai para nabi, para Buddha dapat dicapai oleh setiap orang, tanpa terkecuali. Kenabian atau kebuddhan adalah sebuah pencapaian, tidak jatuh langsung dari langit. Mereka manusia biasa yang juga berproses, jatuh bangun dalam perjalanan hidup mereka. Yang membuat para nabi, para Buddha berbeda dari orang kebanyakan adalah kemanusiaan mereka. Mereka sangat manusiawi, dan kemanusiaan itulah yang membuat mereka dikenang sepanjang masa.

Merayakan kehidupan juga berarti berkata ‘ya’ pada kehidupan. Menerima apapun yang datang, apapun yang Kehidupan berikan kepada kita. Menerima kehidupan dengan segala dualitasnya; baik-buruk, gelap-terang, siang-malam, kebahagiaan-kesedihan, kelahiran-kematian. Menerima kehidupan sebagaimana adanya. Penerimaan Total. Karena dengan menerima dualitas kita dapat melampaui dualitas, maka ketika mengalami kesedihan sikap kita sama ketika mengalami kebahagiaan. Kita menjadi seimbang. Hidup menjadi sebuah perayaan, sebuah nyanyian, dan kita tertawa dan bernyanyi bersama kehidupan. Kita pun telah menjadi selebriti. Selebriti Sejati.

Tertarik menjadi Selebriti?

Denpasar, 03 Oktober 2008

02 Oktober 2008

Kematian

Kabar kematian seorang teman sampai di telinga saya pada sebuah senja di bulan Ramadhan. Teman saya bernama Yudhis. Dia seorang aktivis dan pemikir dan sedang menempuh master philosophy di New Delhi University, India. Penyebab kematian sementara karena keracunan makanan.

Entah mengapa, setiap mendengar berita kematian kini reaksi saya biasa-biasa saja. Mungkin karena saya pernah melihat langsung kematian, ketika ayah tercinta meninggal di bulan ramadhan setahun lalu. Dulu saya menganggap kematian sebuah titik akhir perjalanan, namun setelah banyak membaca buku tentang kematian dan reinkarnasi anggapan saya gugur. Kematian bukanlah sebuah akhir. Kelahiran dan kematian bukanlah sebuah garis lurus. Tak ada yang disebut ‘kematian’ atau ‘kelahiran’ sebenarnya. Sebab roh atau jiwa itu abadi. Hanya badan saja yang mati. Jiwa tak pernah mati. Jiwa adalah energi, dan ilmu fisika mengatakan energi itu kekal. Badan dalam Bhagawad Gita diibaratkan sebagai sebuah pakaian. "Sebagaimana kau melepaskan pakaianmu yang lama dan memakai pakaian baru, begitu pula jiwa ini meninggalkan badannya yang lama dan menghuni badan baru." Metafor yang sangat indah. Lalu mengapa kematian begitu menyedihkan, begitu mengharu-biru? Sebab kita tak tahu apa itu kematian, sebab kematian oleh masyarakat telah dikontruksi sedemikian rupa sehingga kita memperoleh gambaran tentang kematian sebagai sesuatu yang menyeramkan, menakutkan. Kematian adalah akhir segalanya.

Tidak. Kematian bukanlah sesuatu yang luar biasa. Kematian adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, sama seperti sebuah Kelahiran, kelahiran seorang anak atau anggota keluarga baru yang kita sambut gembira dengan senyuman dan tawa riang. Alangkah indahnya jika melihat kematian reaksi kita sama ketika melihat kelahiran. Sebab kelahiran bukanlah titik awal dan kematian bukanlah titik akhir kehidupan. Sebab kehidupan tidak berawal dan berakhir. Kehidupan adalah sebuah perjalanan abadi. Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah sajak Jalaluddin Rumi:

Aku mati sebagai mineral

dan menjelma sebagai tumbuhan,

aku mati sebagai tumbuhan

dan lahir kembali sebagai binatang

Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.

Kenapa aku harus takut?

Maut tidak pernah mengurangi

sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,

aku masih harus mati sebagai manusia,

dan lahir di alam para malaikat.

Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,

aku harus mati lagi;

Karena, kecuali Tuhan,

tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,

aku masih harus menjelma lagi

alam bentuk yang tak kupahami.

Ah, biarkan diriku lenyap,

memasuki kekosongan, kasunyataan

Karena hanya dalam kasunyataan itu

terdengar nyanyian mulia;

“Kepada Nya, kita semua akan kembali”

Denpasar, 02 Oktober 2008


01 Oktober 2008

Sufi


Sufi Kota Mencari Tuhan. Itulah laporan utama majalah Tempo edisi minggu ini. Liputan yang menarik mengenai fenomena merebaknya sufisme di kota-kota besar. Sufi, yang merupakan istilah bagi mereka yang mendalami tasawuf, dengan jalan menyucikan diri –sebagaimana makna ”sufi” yang berasal dari kata ”safa” yang berarti kesucian. Mereka memperbanyak zikir, puasa, menggenapi salat sunah, dan belajar hidup sederhana (zuhud). Bagi yang lebih serius, mereka berkhalwat (menyepi) ke luar kota selama beberapa hari untuk berzikir. Ada pula yang menekuni tarian Rumi (whirling dervishes), atau berguru pada seorang mursyid (guru) di sebuah kelompok tarekat.

Julia Day Howel, antropolog dari Universitas Griffith Australia, menyebut fenomena ini sebagai fenomena sufi urban. Mereka yang ramai-ramai belajar tasawuf kebanyakan orang-orang muda yang secara ekonomi telah mapan. Mereka tak lagi mempermasalahkan 'tarif' yang dipasang lembaga-lembaga yang menjajakan tasawuf. Memang, ketika seseorang telah mapan secara ekonomi biasanya merasa ‘hampa’, lalu mencoba mengisi kehampaan itu dengan berjalan ke dalam diri melalui tasawuf.

Namun, seperti yang ditulis Tempo, orang-orang yang belajar tasawuf lebih untuk meningkatkan spiritualisme pribadi, bukan spiritualisme kolektif. Sufisme cuma punya efek terhadap diri sendiri, belum pada lingkungan di luar dirinya. Mereka lebih sibuk mengurusi Tuhan, yang sebetulnya tak meminta diurus, ketimbang mengurusi kemaslahatan bersama. Mereka ini sesungguhnya telah melupakan esensi tasawuf yang jauh lebih penting: khidmat, pelayanan terhadap manusia lain. Inilah dakwah bil hal yang sesungguhnya.

Sufi juga bukanlah sebuah eskapisme. Menjadi Sufi bukanlah pelarian; ia tidak melarikan diri dari masyarakat. Ia bukan seorang pertapa. Beberapa Sufi bisa jadi memilih untuk hidup sebagai fakir, tapi itu bukan satu-satunya pilihan. Itu bukan syarat ataupun kriteria utama untuk menjadi seorang Sufi.

Sufi, yang yakin bahwa agama mereka adalah agama Cinta, tentu menjadi penyejuk di tengah radikalisme agama yang menghalalkan kekerasan atas nama agama. Sufi adalah para pejalan di Jalan Cinta. Seperti yang pernah ditulis Ibn Arabi (1165-1240):

“Hatiku telah terbuka sepenuhnya: ini menjadi padang rumput bagi kawanan domba, biara bagi para pertapa, kuil bagi arca-arca sembahan, Kaaba bagi para peziarah, meja bagi kitab Taurat dan kitab Suci Alquran. Saya mempraktekkan agama cinta: Kemanapun arah kereta meluncur, agama cinta akan selalu menjadi agamaku dan keyakinanku”.

Denpasar, 01 Oktober 2008

30 September 2008

Ke Surga dengan Menari 'Sama'


Banyak jalan menuju Allah, ya Maulana.
Tapi kau pergi ke sana dengan menari riang gembira.
Banyak jalan menuju surga, ya Maulana
Tapi ke sana kaupilih berjalan di jalan sama.

Dari Tabriz Shamsuddin datang ke Konya
mengajarimu menari sama, katanya
jangan kau menari sama bila dunia masih mengikatmu
tak bisa kau menari sama bila nafsu masih membelenggumu.
Hanya bila kaujatuh cinta pada-Nya
kau bisa menari sama.

Dengan sama kau menari
Dalam sama kautemukan Dia.
Carilah Dia dengan menari sama dan Dia
akan kautemukan lebih besar daripada yang kau kira.
Allastu bi rabbikkum, bukankah aku adalah Tuhanmu
Bala shahidna, ya kami adalah saksinya.
Tak ada di dunia yang lebih indah dan lebih baik dan daripada
alam alatsu, ketika ciptaan dicipta untuk pertama kalinya
tanpa cacat dan noda sedikit jua.
Kau bilang Maulana, kami semua adalah anak-anak Adam
yang selalu teringat, alam alatsu itu penuh dengan musik
surgawi, kendati kami sudah tertutup debu keraguan
dan ketidaktahuan di dunia ini. Suaranya masih terdengar merdu,
membuat hati tertindih rindu. Di sana semua ciptaan menari-nari,
mengikuti irama musiknya. Tak ada satupun yang mau ketinggalan,
surga di atas dengan bulang bintangnya, sampai bumi di bawah
dengan debu pasirnya, semuanya menari, rindu kembali
ke alam alastu.
Jalan ke surga adalah jalan menari bersama semua yang tercipta
maka bagimu Maulana, sama adalah undangan bagi manusia
untuk menuju ke sana.
Keriat-keriut pintu surga mendengar sama.
Dengarlah, pintu surga menutup karena sama, kata lawanmu.
Tidak, katamu, dengarlah pintu surga sedang membuka mendengar sama.

Siang hari di kota Konya
Salah ad-Din Zarkub sedang menyepuh emasnya.
Wahai, betapa indah embusan sepuhannya
memenuhi pasar dengan irama sama
meniupkan rindu pulang ke alam alatsu.
Maulana dicekam doa, diajaknya Salah ad-Din Zarkub
berputar-putar menarikan sama.
Emas disepuh menjadi tari
Pasar disepuh menjadi sunyi
Kerja disepuh menjadi doa
Maulana menemukan surga
di pasar yang ramai dan sesak oleh dunia.

2006

(Sindhunata, Mengenang Jalaluddin Rumi, Majalah Basis edisi Sufisme, Maret-April 2006)

Singgasana Hati


Maulana, bagimu, hati adalah kebun yang dihujani
tetes-tetes rahmatNya, yang sejuk diembusi
sepoi-sepoi angin rencana-Nya.
Tak pernah hati itu diam, bermalas-malasan
karena hati adalah air yang senantiasa mengalir.
Hati adalah telaga, padanya Sang Pencipta
memantulkan wajah-Nya.
Hati adalah api yang menyalakan Cinta.
"Langit dan bumi tak dapat melingkupi aku,
tapi hati kekasih-Ku melingkupi Aku."
Ya hati adalah singgasana, yang haus mencari,
agar di atasnya bertakhta Allah sendiri.

Mengapa Maulana, kini demi aturan-aturan suci
aku sering dipaksa untuk pergi dari hatiku?
Hingga aku tak disegarkan tetes rahmat-Nya karena aku bukan lagi kebun-Nya.
Hingga aku tak mengalir karena aku bukan lagi air-Nya.
Hingga aku kehilangan wajah-Nya karena aku bukan lagi telaga-Nya.
Hingga padam nyala cintaku karena aku bukan lagi api-Nya
Hingga Dia sendiri pergi karena aku bukan lagi takhta-Nya.

Maulana, aku kehilangan hatiku,
hingga aku tak dapat lagi menjerit kepada-Nya,
Dan ketia Dia bertanya, apakah kamu mencintai Aku,
aku tidak bisa menjawabnya. Karena dalam diriku
tiada lagi air, tiada lagi hujan, tiada lagi angin, tiada lagi api
yang menghidupi aku untuk menjawab cinta-Nya.

2006

(Sindhunata, Mengenang Jalaluddin Rumi, Majalah Basis edisi Sufisme, Maret-April 2006)

Membaca Tanda

Pukul 01.30 dini hari. Pulang kerja. Saya membeli nasi di pinggir jalan Pasar Sanglah, Denpasar. Ada tulisan di lapak pedagang nasi yang mencuri perhatian saya: there is no eternal enemy, there is no eternal friend, there is only eternal interest. Saya tersenyum. Sering sekali saya menemukan tulisan-tulisan di jalan yang seolah ditujukan kepada saya. Saya menyebutnya sebagai tanda (sign). There is no eternal enemy, there is no eternal friend, there is only eternal interest. Ya, memang tak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Tanda dalam bahasa agama disebut ayat. Membaca tanda berarti membaca ayat-ayat yang bertebaran dimana-mana. Pada berbagai peristiwa, peristiwa sekecil apapun. Ayat-ayat yang tak selalu berupa teks tertulis sebab peristiwa atau fenomen adalah juga sebuah teks yang bisa dibaca dan ditafsirkan. Maka "Bacalah!"

29 September 2008

Egospiritualitas

Satu-satunya tujuan kita berguru supaya ada yang menegur, menelanjangi dan mengetuk kepala kita, mengingatkan kita bila diam-diam 'egospiritualitas' bertumbuh dan hanya menggantikan ego sebelumnya.” -Anand Krishna

Terimakasih Guruji. Kadang pengetahuan memang memabukkan. Baru sedikit tahu saja sudah merasa lebih dari orang lain. Egospritualitas bertumbuh menggantikan ego sebelumnya, sangat halus, tak terlihat namun sangat berbahaya. Itulah yang banyak menjangkiti para sahabat yang sedang asyik-asyiknya bergelut dengan 'spiritualitas' (mungkin termasuk saya); belajar meditasi, yoga atau bergabung di salah satu organisasi spiritual, atau sedang berguru dengan Si Anu atau Si Fulan. Ego tetaplah Ego. Be aware!

Syukur


Stop Thinking and Start Thanking. Kalimat singkat dari Osho, panutan saya, membangunkan saya dari penat. Ya, kadang saya lupa berterimakasih, lupa bersyukur. Keberadaan begitu banyak memberi saya berkah, gift. Tentang bersyukur, Osho berkata begini:

Gyan Bhakti,
This is prayer.
This is the beginning of real sannyas.
This is the inner initiation: when you stop thinking and you start thanking.
If you can thank, all becomes possible -- even the impossible becomes possible.
If you can thank, then doors open. They open only for those who live in gratitude.

God gives his keys only to those who are grateful.
God's keys remain unavailable to those who complain.
And all thinking is a kind of complaining.

Thanking is the most beautiful flower that arises into one's soul.
And, Gyan Bhakti, I have been watching you... slowly slowly, the bud is opening.
It is becoming a flower.
Soon you will have wings.
Soon your whole life will become a fragrance.
Soon, not only one flower, but millions will bloom in you.

When one flower has bloomed, know well, the spring has come.

OSHO
The Perfect Master
Vol 2, Ch #8: The Bell Tolls for Thee
am in Buddha Hall


Terimakasih Osho, terimakasih telah mengingatkan saya.

Lebaran


Lebaran sudah dekat. Saya teringat kampung halaman di Loloan, di ujung barat Bali. Saya juga teringat sajak pendek Sitor Situmorang yang berjudul "Malam Lebaran." Sajak itu hanya berbunyi Bulan/di atas kuburan. Konon pada malam lebaran bulan tidak muncul. Namun oleh sang penyair bulan justru 'dimunculkan' di malam lebaran. Karena bulan juga perhitungan tanggal hari raya Idul Fitri bisa berbeda. Semoga tahun ini Idul Fitri dirayakan berbarengan.

Selamat Merayakan Idul Fitri bagi kawan-kawan muslim.

(keterangan foto: Masjid di Kampung Jawa, Denpasar, diambil sekitar bulan November tahun lalu - Angga)

Selamat Datang


Selamat datang di blog saya yang sederhana ini. Apa yang saya tulis semata-mata berangkat dari keinginan untuk berbagi. Semoga berkenan.