05 Oktober 2008

Fundamentalis

“Sedihnya, kita malah takut ketika membicarakan esensi agama dengan kritis. Padahal, kritis adalah awal dari iman dan keberagaman adalah dasar dari berkarya”, ujar Garin Nugroho seusai pameran yang bertajuk “Jejak Spiritualitas” di Muenchen, Jerman seperti yang dilansir harian Kompas 3 Oktober 2008. Ia juga berpendapat pada sebagian masyarakat religiositas muncul dalam bentuk simbol-simbol di permukaan saja.

Saya setuju apa yang dikatakan Garin. Memang kritis awal dari iman, memang pada sebagian masyarakat religiositas muncul dalam bentuk simbol-simbol di permukaan saja. Tapi sikap kritis dalam membicarakan esensi agama tidaklah selalu berakhir indah di negeri ini. Kita akan dicap melakukan pelecehan agama, dicap 'sesat’ ‘murtad’, ‘kafir’, atau yang paling parah kita akan diancam akan dibunuh, siapa saja boleh membunuh kita sebab darah kita telah dihalalkan oleh sebuah fatwa dari sebuah kelompok agama, seperti yang pernah menimpa aktivis kelompok liberal beberapa tahun lalu. Begitulah. Radikalisme agama nampak tumbuh subur beberapa tahun belakangan ini. Puncaknya pada 1 Juni lalu. Sekelompok orang yang sedang merayakan hari lahir Pancasila diserbu secara membabi-buta oleh gerombolan yang mengenakan atribut agama. Banyak korban yang terluka, gegar otak, patah tulang, tak terkecuali anak-anak dan perempuan. Sebagian lagi mengalami trauma psikis.

Apa sebenarnya penyebab tumbuh suburnya radikalisme agama di Indonesia? Banyak pengamat yang mengatakan kemiskinan adalah penyebab tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Tetapi tidak juga. Banyak dari mereka yang mapan secara ekonomi, lulusan universitas luar negeri, bahkan beberapa dari mereka adalah pejabat yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Mungkin penyebabnya karena sebuah pemahaman agama yang setengah-setengah, pemahaman agama secara literal atau sikap fanatik yang berlebihan yang sering juga dikaitkan dengan fundamentalisme agama. Dalam sebuah diskusi yang bertajuk "Fundamentalisme dan Masa Depan Indonesia" di Denpasar beberapa tahun lalu, Ulil Abshar-Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal, mengutip Karen Armstrong dalam buku Battle for God, menyebut bahwa fundamentalisme adalah akibat dari modernisasi yang hadir secara agresif sehingga memporakporandakan pandangan dunia lama agama-agama, dan dengan demikian menciptakan menciptakan sejenis keterangasingan dan keterlunta-luntaan simbolik. Sebagai akibatnya, manusia modern mencari tempat pengasingan yang dapat melindungi mereka dari serbuan modernisasi yang agresif; tempat perlindungan atau suaka itu tak lain adalah agama. Ullil juga menyebut dua model fundamentalisme: rejeksionis dan eskapiestik. Fundamentalisme rejeksionis adalah fundamentalisme yang menolak seluruh warisan modernitas seperti tampak dalam pandangan Sayyid Qutb, pemikir Islam dari Mesir yang dianggap sebagai bapak doktrinal fundamentalisme Islam modern, atau Ayatollah Khomaeni dalam awal-awal revolusi Iran. Kaum fundamentalis Islam yang rejeksionis menolak demokrasi sebagai system pangaturan kehidupan social, karena demokrasi adalah sebentuk subversi atau kudeta terhadap kekuasaan Tuhan yang Mutlak dan menggantinya dengan kekuasaan rakyat. Fundamentalisme jenis kedua, yakni fundamentalisme eskapis-piestistik adalah jenis fundamentalisme yang menghendaki suatu cara hidup yang “lain”. Yang berbeda dari cara hidup sekuler. Fundamentalisme jenis ini adalah jawaban atas problem keterasingan yang dialami manusia modern. Seorang perempuan Muslimah yang memakai jilbab merasa bahwa dengan memakai secarik kain di kepala itu ia merasa “aman” dari gempuran modernitas yang mengasingkan; dengan secarik kain itu ia telah merasa “pulang kampung” dan menikmati hidup yang aman dan tenang. Tema utama dalam fundamentalisme kedua ini adalah ketenangan batin. Dalam bentuknya yang ekstrim, fundamantalisme kedua ini bisa mengambil bentuk “menarik diri” dari kehidupan umum, karena yang terakhir itu telah mengalami polusi yang parah oleh nilai-nilai sekuler yang bertentangan dengan nilai agama. Karena itulah, dalam fundamentalisme kedua ini kita kerap kali mengendus semangat eskapisme atau pelarian diri dari kehidupan dunia. Mistisisme, New Age, Klenik, dan sebagainya, merupakan alternatife yang digemari orang-orang modern yang ingin mancari ketenangan batin. Beda antara fundamantalisme jenis pertama dengan kedua adalah: yang pertama bersifat destruktif dan supremasis, yang kedua tidak, yang pertama ingin menggantikan “kota manusia” dengan “kota Tuhan”, sementara yang kedua sekedar hendak membangun “bilik Tuhan” yang kecil di pojok rumah sebagai tempat untuk khalwat atau retreat dari kehidupan umum yang mengalami proses pembendaan atau sekularisasi. Pada akhir makalahnya Ulil menulis “fundamentalisme jelas bukan masa depan Indonesia, terutama fundamentalisme rejeksionis. Yang kita perlukan di masa depan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak memandang dirinya sebagai bersifat mutlak dan supremasis. Saya melihat bahwa salah satu tugas penting ke depan bagi seluruh agama adalah mengembangkan suatu pandangan keagamaan yang menyadari tentang universalitas kemanusiaan yang sensitive terhadap keragaman. Pandangan keagamaan yang terlalu menekankan keunikan seraya melupakan segi kemanusiaan yang universal jelas kurang menguntungkan bagi kita.”

Sebagai intelektual muslim Ulil mungkin hanya ingin menyoroti fundamentalisme dalam Islam. Namun fundamentalisme juga terdapat dalam agama Hindu, Kristen, Buddha, Konghucu. Fundamentalisme ada di semua agama. Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa sutradara Garin Nugroho dan novelis Dewi Lestari yang karya mereka dituduh telah melecehkan agama Hindu oleh sebuah forum intektual hindu di Denpasar. Sebuah tuduhan yang tak berdasar sebab Garin Nugroho hanyalah mengangkat cerita dalam Ramayana ke dalam film dan Dewi Lestari hanya memasang simbol ‘OM” dalam sampul novelnya, novel yang spiritual yang banyak mengangkat nilai-nilai buddhisme. Maka itu saya sepakat dengan apa yang dikatakan Ulil. Fundamentalisme jelas bukan masa depan Indonesia. Fundamentalisme tidak cocok diterapkan di Indonesia. Indonesia adalah negara yang menjunjung nilai-nilai keragaman. Bukan keseragaman. Indonesia bukan negara agama. Bukan pula negara sekular. Indonesia berdasar atas Pancasila, yang telah terbukti berhasil mendamaikan segala perbedaan.

Denpasar, 5 Oktober 2008

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Klo membahas ttg keadaan agama islam diindonesia,kepalaku slalu cenut2..ku gk habis pikir knp tambah lama bukannya tambah maju,tenang dan penuh kedamaian...malah tambah hancuur,,,tak hanya orang2 yg berpangkat tinggi kini org bawahpun mulai mengikuti jejak atasannya...
Org2 islam indo kurang bisa menghargai sesama muslim,slalu merasa paling benar,tiap golongan slalu bersaing agar jd yg hebat walau kadang dgn cara yg kurang baik.
Nama negara indo udah hancur dimata org luar negri,,sistem pemerintahannya juga udh bobrok..korupsi merajalela,keadilan bisa di beli,suap menyuap mulai menjamur...trus klo udh gitu dimanakah pola kehidupan islam diindonesia,knp panduduknya yg mayoritas muslim tp akidahnya gk sesuai dgn agama yg mereka anut... CAPEE DEH

Anonim mengatakan...

Indonesia memang berdasarkan atas pancasila...,indo juga mmberikan kebebasan dlm memeluk agama sesuai dgn keyakinan...tp knp masih banyak pertikaian antar agama?? bahkan yg sesama muslimpun sekarng saling berantem...dimana nilai keislaman yg katanya cinta perdamaian???

Anonim mengatakan...

indonesia memang blm bisa dikategorikan fundamentalisme...krna masih banyak yg melenceng...dan skrg banyak media massa yg menakut-nakuti umat islam indo dgn istilah fundamentalisme muslem identic teroris...!!itu tujuannya agar umat islam jauh dari agamanya,,yg akhirnya jd murtad...!! tp bukan berarti fundamentalisme gk cocok jika diterapkan diindo...hanya saja kurangnya kesadaran para penganutnya saja...ISLAM adlh agama yg suci..

Angga Wijaya mengatakan...

Semua agama suci, mbak. Hanya pengikutnya saja yang ndableg.

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.