22 November 2008

Langit

Untuk membaca sebuah peristiwa lihatlah tanda-tanda di langit, kata almarhum ayah saya beberapa tahun lampau. Dan kini saya melihat langit penuh dengan warna. Warna bendera-bendera partai berbagai ukuran, partai-partai peserta pemilu 2009 yang berjumlah puluhan Kemeriahan menyambut pemilu bolehlah kita sebut sebagai sebuah kemajuan demokrasi, kemajuan sebuah negara dunia ketiga yang sedang belajar berdemokrasi. Dalam sebuah diskusi tentang partai politik di mata para konsituen (masyarakat pemilih) yang diadakan sebuah LSM di Denpasar baru-baru ini terlihat bahwa partai politik di Indonesia kini hanya berpikir soal kekuasaan. Melulu kekuasaan. Partai politik akan peduli kepada rakyat hanya ketika menjelang pemilu atau pemilihan kepala daerah. Setelah pesta demokrasi usai rakyat tak lagi menjadi perhatian mereka. Tentang pendidikan politik yang idealnya diberikan oleh partai politik untuk mencerdaskan masyarakat masih jauh panggang dari api. Bahkan mereka memberi contoh yang buruk kepada masyarakat. Maka tak aneh politik menjadi sesuatu yang berkonotasi buruk, hanya soal uang dan kekuasaan. Padahal politik tak seperti itu. Politik adalah jalan untuk merubah keadaan. Politik tak selalu berkaitan dengan partai, dengan kekuasaan. Sadar akan hak sebagai warga negara juga bagian dari politik. Mengemukakan pendapat di muka umum juga bagian dari politik.

Namun politik terlanjur memiliki arti yang jelek, kotor. Bangsa ini memiliki trauma yang mendalam tentang politik. Tahun 1965 mungkin bisa menjelaskan itu. Jutaan orang yang dituduh berafiliasi dengan sebuah partai komunis dibunuh secara keji. Tanpa pengadilan, tanpa kesempatan untuk membela diri. Tahun 1965 adalah lembaran hitam bangsa Indonesia. Sampai kini belum jelas siapa bertanggung jawab atas pembunuhan massal tersebut. Lalu pemerintahan berganti.Orde baru berkuasa dengan tangan besi-nya. Politik dikebiri. Rakyat tak berani banyak bersuara. Mereka yang berani mengkritik pemerintah langsung ’diamankan’, kata lain dipenjara. Banyak yang tidak menyangka Orde Baru tumbang pada 1998. Bangsa Indonesia kemudian mengalami euforia politik. Partai politik banyak bermunculan, pemilihan kepala daerah dan kepala negara dilakukan secara langsung. Mungkin ini bisa disebut sebagai sebuah kemajuan demokrasi. Kemajuan demokrasi negara Ketiga yang tertatih-tatih bangun dari tidur panjangnya. Maka melihat meriahnya bendera-bendera partai dan foto para calon wakil rakyat yang terpampang di jalan-jalan saya melihatnya sebagai sebuah pembelajaran, kita sedang belajar berdemokrasi, belajar untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin, belajar untuk siap kalah dan siap menang. Lalu ketika terpilih siap untuk melayani, bukan sekadar menjadi penguasa. Bukan sekadar berpikir soal uang yang bisa didapat selama masa jabatan.

Semoga politik kembali ke makna sebenarnya. Politik yang tidak lagi identik dengan darah dan kekerasan. Namun identik dengan kesantunan dan kedewasaan. Politik yang memiliki prinsip, meminjam istilah Mahatma Gandhi.

Tidak ada komentar: