06 November 2008

Diri Berubah, Dunia Pun Berubah

Judul buku : Be The Change; Menghidupi Kebijaksanaan Mahatma Gandhi
Penulis : Anand Krishna
Tebal Buku : 102 halaman + xlix
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2008

Perubahan atau change adalah kata yang sering kita dengar belakangan ini. Perubahan yang banyak disebut-sebut dalam berbagai kampanye pemilihan kepala daerah mapun kepala negara. Tak kurang Barack Obama, kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat menggunakan kata ”change” sebagai fokus kampanyenya. Namun apakah perubahan itu sebenarnya? Siapakah yang harus berubah dan bagaimana memulai perubahan itu? Buku ’Be The Change; Menghidupi Kebijaksanaan Mahatma Gandhi’ ini mungkin bisa menjawabnya. Ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna dan begitu mengalir, buku karya Anand Krishna, seorang nasionalis, aktivis spiritual, dan penulis buku-buku laris ini begitu padat dan berisi. Dalam buku ini Anand Krishna mengulas ajaran Mahatma Gandhi yang dikumpulkan oleh blogger Henrik Edberg, seorang penulis berbakat yang mengaku sangat terpengaruh oleh ajaran Mahatma Gandhi. Ajaran yang dirangkum menjadi 10 butir kebijaksanaan Gandhi.

Buku ini sebenarnya merupakan ungkapan keprihatinan Anand Krishna terhadap radikalisme agama yang kian merebak di Indonesia. Peristiwa 1 Juni di Monas, Jakarta membuktikan itu. Sekelompok orang dari pelbagai agama yang sedang memperingati kelahiran Pancasila diserang secara brutal oleh sekelompok orang yang sebagian berjubah putih, yang mengucapkan kata-kata agama dan memukul, menghantam, menendang, menusuk, melukai, dan menghina kelompok yang berkumpul itu. Banyak korban yang terluka, gegar otak, patah tulang, tak terkecuali anak-anak dan perempuan. Sebagian lagi mengalami trauma psikis. Kekerasan atas nama agama telah membuktikan bahwa radikalisme dan fundamentalisme agama memang ada tumbuh subur di Indonesia. Dan yang menjadi ironi negara seperti membiarkan semua itu terjadi bahkan salah satu menteri mengunjungi pelaku kekerasan peristiwa Monas. Bukan mengunjungi korban kekerasan.

Membicarakan kekerasan kita mau tak mau mesti berpaling kepada Gandhi. Itulah yang penulis buku ini ingin sampaikan. Gandhi, yang sepanjang hidupnya melakoni ahimsa, prinsip emoh kekerasan telah membuktikan bahwa kekerasan tak mesti dibalas dengan kekerasan. Mata tak harus dibalas mata. Ahimsa adalah senjata para pemberani, bukan para pengecut. ”Seorang lemah tidak dapat memaafkan. Kemampuan untuk memaafkan hanya ada pada mereka yang kuat. Bila pencungkilan mata dibalas dengan mencungkil mata, seluruh dunia akan menjadi buta”, kata Gandhi suatu ketika. Disinilah ahimsa menunjukkan kekuatannya. Ahimsa tidak sama dengan pesimisme. Ahimsa tidak melukai, tidak menyakiti, tidak membalas pukulan dengan pukulan, namun tetap tidak menerima aksi melukai, menyakiti dan memukuli. Ahimsa tidak menerima kekerasan, dengan dalih apapun, termasuk atas nama agama berdasarkan pemahaman agama yang sempit.

Dan perubahan mesti dimulai dari diri sendiri. Perubahan tak akan terjadi jika kita masih mengharapkan perubahan dari luar. Jika kekerasan telah menjadi kebiasaan di masyarakat maka jadilah penganut ahimsa, hiduplah dengan prinsip tanpa kekerasan. Kekerasan sekecil apapun.

Tidak ada komentar: