28 November 2008

Kritis

Seorang teman menerbitkan sebuah buku. Saya menghadiri acara peluncuran bukunya. Buku itu merupakan kumpulan tulisan tentang Bali. Buku yang menarik, mengingat tak banyak buku tentang Bali yang ditulis oleh orang Bali sendiri. Kebanyakan buku tentang Bali ditulis oleh orang asing yang tertarik akan keunikan budaya Bali atau mereka yang menulis karena kepentingan akademis. Mereka yang memposisikan diri sebagai outsider, sebagai orang luar, sebagai seorang pengamat.

Saya tak tahu apakah teman saya memposisikan diri sebagai orang luar atau orang dalam ketika menulis tentang Bali. Teman saya sejak lama bermukim di Jogja, melanjutkan studi di perguruan tinggi, dan kini telah menjadi sarjana. Memang, orang Bali yang tinggal di rantau dinilai lebih terbuka dan objektif dalam menilai Bali. Juga lebih kritis dan berani. Mungkin karena jarak yang jauh dengan tempat kelahiran yang membuat mereka lebih objektif menilai Bali. Mereka mulai mempertanyakan banyak hal yang selama ini tak pernah mereka pertanyakan ketika masih berada di Bali. Pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan kegelisahan, mungkin juga kecemasan tentang Bali. Kegelisahan ataupun kecemasan yang kemudian dituangkan dalam tulisan yang kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku.

Ada beberapa buku tentang Bali yang ditulis oleh orang Bali yang bermukim di luar Bali. Di antaranya buku Surat Merah untuk Bali (2007) yang ditulis oleh Putu Fajar Arcana, wartawan yang lama bermukim di Jakarta dan Jogja. Di buku itu, Fajar dengan suntuk dan cermat mengkaji tanah kelahirannya. Ia menyodorkan kegelisahannya terhadap bali dari lubuk hati, menjadi renungan, tidak gugatan. Ada juga Dewa Gde Palguna, hakim Mahkamah Konsitusi 2003-2008 yang menuangkan kegelisahannya dalam sebuah buku Saya Sungguh Mencemaskan Bali (2008). Pada 1986 Putu Setia juga menerbitkan buku Menggugat Bali, yang merupakan cacatan perjalanan tentang perubahan budaya Bali yang ditulis Putu setelah sepuluh tahun meninggalkan Bali.

Namun untuk menjadi kritis tentu tak perlu menjadi orang rantau, tinggal di luar Bali dan melihat Bali dari luar. Tetap tinggal di pulau atau dusun kelahiran juga mampu membuat kita tetap kritis. Keberjarakan dengan tempat asal dan budaya asal tidak mesti diterjemahkan dengan meninggalkan tempat kelahiran, menjadi orang rantau. Ada banyak orang Bali yang tetap tinggal di Bali namun sikap kritis mereka tak berkurang walaupun tetap berada di tanah kelahiran. Jarak adalah sesuatu yang bisa diciptakan. Mungkin itu sebabnya dalam kosakata bahasa Indonesia terdapat istilah “menjaga jarak”. Menjaga jarak itulah yang membuat kita kritis dan objektif melihat sesuatu, melihat tradisi, budaya, adat atau mungkin juga melihat diri kita sendiri. Diatas semua itu, sikap kritis perlu diterjemahkan menjadi sebuah langkah nyata untuk memperbaiki keadaan. Negeri ini membutuhkan orang-orang yang mau bekerja, tidak sekadar bicara saja. Tidak sekadar gelisah atau cemas saja.

Tidak ada komentar: