30 September 2008

Singgasana Hati


Maulana, bagimu, hati adalah kebun yang dihujani
tetes-tetes rahmatNya, yang sejuk diembusi
sepoi-sepoi angin rencana-Nya.
Tak pernah hati itu diam, bermalas-malasan
karena hati adalah air yang senantiasa mengalir.
Hati adalah telaga, padanya Sang Pencipta
memantulkan wajah-Nya.
Hati adalah api yang menyalakan Cinta.
"Langit dan bumi tak dapat melingkupi aku,
tapi hati kekasih-Ku melingkupi Aku."
Ya hati adalah singgasana, yang haus mencari,
agar di atasnya bertakhta Allah sendiri.

Mengapa Maulana, kini demi aturan-aturan suci
aku sering dipaksa untuk pergi dari hatiku?
Hingga aku tak disegarkan tetes rahmat-Nya karena aku bukan lagi kebun-Nya.
Hingga aku tak mengalir karena aku bukan lagi air-Nya.
Hingga aku kehilangan wajah-Nya karena aku bukan lagi telaga-Nya.
Hingga padam nyala cintaku karena aku bukan lagi api-Nya
Hingga Dia sendiri pergi karena aku bukan lagi takhta-Nya.

Maulana, aku kehilangan hatiku,
hingga aku tak dapat lagi menjerit kepada-Nya,
Dan ketia Dia bertanya, apakah kamu mencintai Aku,
aku tidak bisa menjawabnya. Karena dalam diriku
tiada lagi air, tiada lagi hujan, tiada lagi angin, tiada lagi api
yang menghidupi aku untuk menjawab cinta-Nya.

2006

(Sindhunata, Mengenang Jalaluddin Rumi, Majalah Basis edisi Sufisme, Maret-April 2006)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

aku bukanlah seorang pujangga
yang mampu mengungkapkan kata dengan rumit
aku hany ampu memberikan kata sederhana dan tertuju langsung. tak lihai dalam permainan kata.
ketika kesepian menyerang hati, dan hati telah hilang dari kita. bukankah lebih baik menyerah dan pasrah, tapi kau malah bertanya. ikutilah alur, tapi jangan terlalu terikuti. hatimu akan kembali, trust me.