30 September 2008

Ke Surga dengan Menari 'Sama'


Banyak jalan menuju Allah, ya Maulana.
Tapi kau pergi ke sana dengan menari riang gembira.
Banyak jalan menuju surga, ya Maulana
Tapi ke sana kaupilih berjalan di jalan sama.

Dari Tabriz Shamsuddin datang ke Konya
mengajarimu menari sama, katanya
jangan kau menari sama bila dunia masih mengikatmu
tak bisa kau menari sama bila nafsu masih membelenggumu.
Hanya bila kaujatuh cinta pada-Nya
kau bisa menari sama.

Dengan sama kau menari
Dalam sama kautemukan Dia.
Carilah Dia dengan menari sama dan Dia
akan kautemukan lebih besar daripada yang kau kira.
Allastu bi rabbikkum, bukankah aku adalah Tuhanmu
Bala shahidna, ya kami adalah saksinya.
Tak ada di dunia yang lebih indah dan lebih baik dan daripada
alam alatsu, ketika ciptaan dicipta untuk pertama kalinya
tanpa cacat dan noda sedikit jua.
Kau bilang Maulana, kami semua adalah anak-anak Adam
yang selalu teringat, alam alatsu itu penuh dengan musik
surgawi, kendati kami sudah tertutup debu keraguan
dan ketidaktahuan di dunia ini. Suaranya masih terdengar merdu,
membuat hati tertindih rindu. Di sana semua ciptaan menari-nari,
mengikuti irama musiknya. Tak ada satupun yang mau ketinggalan,
surga di atas dengan bulang bintangnya, sampai bumi di bawah
dengan debu pasirnya, semuanya menari, rindu kembali
ke alam alastu.
Jalan ke surga adalah jalan menari bersama semua yang tercipta
maka bagimu Maulana, sama adalah undangan bagi manusia
untuk menuju ke sana.
Keriat-keriut pintu surga mendengar sama.
Dengarlah, pintu surga menutup karena sama, kata lawanmu.
Tidak, katamu, dengarlah pintu surga sedang membuka mendengar sama.

Siang hari di kota Konya
Salah ad-Din Zarkub sedang menyepuh emasnya.
Wahai, betapa indah embusan sepuhannya
memenuhi pasar dengan irama sama
meniupkan rindu pulang ke alam alatsu.
Maulana dicekam doa, diajaknya Salah ad-Din Zarkub
berputar-putar menarikan sama.
Emas disepuh menjadi tari
Pasar disepuh menjadi sunyi
Kerja disepuh menjadi doa
Maulana menemukan surga
di pasar yang ramai dan sesak oleh dunia.

2006

(Sindhunata, Mengenang Jalaluddin Rumi, Majalah Basis edisi Sufisme, Maret-April 2006)

4 komentar:

Anonim mengatakan...

mungkin ia juga menemukan ketenangan batin di riuhnya pasar..

Angga Wijaya mengatakan...

Ya, surga memang sebuah keadaan, bukan sebuah tempat. Ketenangan bathin adalah surga.

Apakabar, senja?

Anonim mengatakan...

Bagaimana anda bisa yakin kalau surga adalah sebuah keadaan?

Angga Wijaya mengatakan...

Saya pernah mengalaminya.