15 Desember 2008

Ibu

...tatkala saya masih muda, saya telah gambarkan negara yang akan datang dan tanah air yang akan datang, tanah air yang kita pijak buminya itu, saya gambarkan sebagai ibu kita. Ibu, oleh karena itu kita berkata Ibu Pertiwi. Ibu, dan kita menyebutkan negara kita pada zaman dahulu, Mataram. Ibu…Dan kita pun sekarang berkata, bukan saja Mataram, tetapi Ibu Pertiwi, Ibu kita. Kita berkewajiban jikalau benar-benar kita mencintai Ibu kita ini, kita harus menyumbang pada Ibu kita ini. Di dalam ucapan-ucapan saya tatkala saya masih muda, saya berkata, kita semuanya berkewajiban untuk menyumbangkan bunga, bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita ini. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa sumbangkan melati? Berilah melati. Engkau bisa menyumbangkan apa? Bisa menyumbangkan mawar? Berilah mawar. Engkau bisa menyumbangkan apa? Bisa menyumbangkan kenanga? Berilah kenanga.

Tulisan di atas berasal dari Soekarno dalam buku Revolusi Belum Selesai Jilid 1, Halaman 388-389. Sengaja saya kutip tulisan beliau untuk mengingatkan kita semua bahwa pernah ada pemimpin besar bernama Soekarno yang begitu mencintai tanah airnya. Kata-kata dalam tulisan di atas sudah cukup membuktikan betapa beliau mencintai Indonesia, tanah air yang digambarkan sebagai seorang ibu yang harus dihormati dan dicintai, sesuatu yang kini telah terlupakan oleh kita semua, oleh mereka yang kita percayakan menjadi pemimpin kita saat ini.

Lihatlah, di saat banyak permasalahan negeri yang belum teratasi wakil kita di DPR malah sibuk menyusun undang-undang kontroversial bernama Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang kini telah disahkan oleh Presiden meski banyak mendapat reaksi keras masyarakat Bali, Papua, Sulawesi Utara, dan propinsi lainnya yang merasa terancam dengan keberadaan undang-undang porno tersebut. Jadi jelas sudah para pemimpin kita saat ini telah melupakan sejarah bahwa negara ini terbentuk dari keberagaman, bukan keseragaman. Menjadi jelas juga bahwa kita telah melecehkan Ibu kita, Ibu Pertiwi, bahkan “memperkosa”nya beramai-ramai.

Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi bukanlah produk budaya kita. Budaya kita adalah budaya yang menjunjung tinggi perempuan, bukan budaya yang merendahkan perempuan dengan menganggap perempuan sebagai kriminal karena telah membangkitkan hasrat seksual laki-laki dan oleh sebab itu perempuan sebaiknya menutup tubuhnya rapat-rapat agar tak membuat hasrat laki-laki bangkit. Ini benar-benar bodoh dan menjijikkan. Di kemudian hari kita akan melihat berbagai tindakan main hakim sendiri oleh individu atau kelompok pada sesuatu yang dianggap porno karena undang-undang membolehkan itu. Sebuah keadaan yang mengingatkan saya pada budaya asing dimana perajaman (dilempar batu sampai mati) terhadap perempuan biasa terjadi. Budaya kekerasan yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi menjadi bukti bahwa kita telah benar-benar melupakan sejarah dan budaya kita. Kita menganggap budaya asing lebih baik lalu mencoba menerapkannya di bumi pertiwi. Kita juga telah buta dan tuli, memilih pemimpin yang ternyata masih takut berkata tidak pada ketidakbenaran. Semoga Ibu Pertiwi sudi mengampuni kita yang tetap bodoh dan mau dibodohi ini.

1 komentar:

eden.apesman mengatakan...

terimakasih atas pembelaannya terhadap perempuan,... dan terimakasih telah melihat perempuan dari perspektif lain yaitu MANUSIA.

banyak orang berteriak dengan dalih untuk melindungi perempuan, tapi mereka tidak sadar telah 'memperkosa' hak2 perempuan!. mereka berkata budaya barat tidak sesui dengan ke-Indonesiaan, tapi mereka buta budaya yang matia-matian diterapkan adalah adopsi jua, yang pasti penerapannya antara satu daerah dengan daerah lain tidak sama!chaos!

"hentikan!
sudah cukup berkarat
luka2 ibu pertiwi, jangan lagi kau garami...
kepedihan ini"


salam,
lindatin, jakarta