21 Februari 2009
22 Januari 2009
05 Januari 2009
Bapak
Kawan saya, seorang aktivis perempuan, mengeluhkan berita-berita di media massa yang menurut dia menyudutkan perempuan. Pemberitaan kasus pemerkosaan dan penangkapan perempuan pekerja kafe misalnya. Judul berita ditulis dengan kata-kata yang heboh seperti gadis di bawah umur dijos atau cewek kafe diciduk. Bagi teman saya pemberitaan tersebut bias jender, merugikan perempuan. Perempuan digambarkan sebagai barang mainan atau kriminal, yang dengan gampang dijos atau diciduk aparat. Maka itu dia sangat setuju ketika salah satu kelompok media di bali mengadakan pelatihan kepada para wartawan (yang kebanyakan laki-laki) agar lebih peka jender sehingga pemberitaan mengenai perempuan tidak malah memposisikan perempuan sebagai objek seksual atau penyebab sebuah kejahatan.
Saya memahami kegalauan kawan saya. Budaya patriarki, budaya yang menganggap laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan memang tidak gampang dihilangkan begitu saja. Semenjak dini dalam pelajaran menulis di sekolah dasar kita telah diajarkan bahwa laki-laki (bapak) adalah sosok pekerja luar rumah, pencari nafkah keluarga dan perempuan (ibu) adalah pekerja domestik yang hanya bertugas menanak nasi dan memasak di dapur. Pemahaman yang ditanamkan sejak usia dini ini secara tak langsung membentuk pola pikir kita, bahwa laki-laki adalah makhluk kelas satu dan perempuan adalah mahkluk kelas dua. Apalagi negara kemudian melegitimasi pemahaman tersebut.
Saya Sasaki Shiraishi, antropolog asal Jepang dalam bukunya yang berjudul “Young Heroes; The Indonesian Family In Politics” diterjemahkan menjadi “Pahlawan-Pahlawan Belia; Keluarga Indonesia dalam Politik” (Ajidarma, 2001) menulis bahwa Indonesia pada masa Orde Baru adalah dunia koneksi yang maha besar. Dunia koneksi ini dibangun berdasar gagasan keluarga. Dalam dunia koneksi ini, hanya ada satu hubungan hierarkis: hubungan bapak-anak. Indonesia mengukuhkan kemerdekaannya dalam revolusi gaya Indonesia, ketika si anak bangkit melawan bapaknya. Orde Baru diawali dengan datangnya bapak yang baru, Soeharto, dalam kontra-revolusi melawan hubungan bapak-anak yang revolusioner demi mempertahankan kebahagiaan keluarga.
Apa yang dikemukakan Shiraishi sangatlah menarik. Pencitraan bapak sangatlah kental. Secara politis bapak adalah pusat segala. Bapak perlu dihormati karena bapak-tahu-segala. Shiraisihi menulis, para pemimpin atau bos berusaha keras menghidupkan citra bapak sebagai seorang ayah yang penuh perhatian sekaligus mampu memenuhi harapan tanpa batas anak-anak atau bawahannya. Seperti kita saksikan sekarang ini, menjadi orang tua itu sama dengan memanjakan tanpa syarat. Bapak harus bermurah hati dan melindungi keinginan anak-anaknya, sebaliknya, anak-anak harus menerima apa yang diberikan oleh bapak dengan rasa hormat dan terimakasih. Karena itu, seorang bos, baik di pemerintahan ataupun swasta, harus menyeimbangkan perannya sebagai seorang eksekutif yang bertanggungjawab atas jalannya birokrasi modern, dan sebagai seorang bapak yang bertanggung jawab untuk mengasuh anak dan memelihara organisasi keluarga mereka agar bahagia dan harmonis.
Saya teringat Shiraishi ketika karena urusan pekerjaan saya mesti keluar-masuk kantor pemerintahan dan takjub melihat orang-orang yang begitu hormat (kadang berlebihan) pada atasannya, pada sosok bapak yang kebetulan mengepalai bidang tertentu pada departemen tertentu. Ah, Bapak!
Saya memahami kegalauan kawan saya. Budaya patriarki, budaya yang menganggap laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan memang tidak gampang dihilangkan begitu saja. Semenjak dini dalam pelajaran menulis di sekolah dasar kita telah diajarkan bahwa laki-laki (bapak) adalah sosok pekerja luar rumah, pencari nafkah keluarga dan perempuan (ibu) adalah pekerja domestik yang hanya bertugas menanak nasi dan memasak di dapur. Pemahaman yang ditanamkan sejak usia dini ini secara tak langsung membentuk pola pikir kita, bahwa laki-laki adalah makhluk kelas satu dan perempuan adalah mahkluk kelas dua. Apalagi negara kemudian melegitimasi pemahaman tersebut.
Saya Sasaki Shiraishi, antropolog asal Jepang dalam bukunya yang berjudul “Young Heroes; The Indonesian Family In Politics” diterjemahkan menjadi “Pahlawan-Pahlawan Belia; Keluarga Indonesia dalam Politik” (Ajidarma, 2001) menulis bahwa Indonesia pada masa Orde Baru adalah dunia koneksi yang maha besar. Dunia koneksi ini dibangun berdasar gagasan keluarga. Dalam dunia koneksi ini, hanya ada satu hubungan hierarkis: hubungan bapak-anak. Indonesia mengukuhkan kemerdekaannya dalam revolusi gaya Indonesia, ketika si anak bangkit melawan bapaknya. Orde Baru diawali dengan datangnya bapak yang baru, Soeharto, dalam kontra-revolusi melawan hubungan bapak-anak yang revolusioner demi mempertahankan kebahagiaan keluarga.
Apa yang dikemukakan Shiraishi sangatlah menarik. Pencitraan bapak sangatlah kental. Secara politis bapak adalah pusat segala. Bapak perlu dihormati karena bapak-tahu-segala. Shiraisihi menulis, para pemimpin atau bos berusaha keras menghidupkan citra bapak sebagai seorang ayah yang penuh perhatian sekaligus mampu memenuhi harapan tanpa batas anak-anak atau bawahannya. Seperti kita saksikan sekarang ini, menjadi orang tua itu sama dengan memanjakan tanpa syarat. Bapak harus bermurah hati dan melindungi keinginan anak-anaknya, sebaliknya, anak-anak harus menerima apa yang diberikan oleh bapak dengan rasa hormat dan terimakasih. Karena itu, seorang bos, baik di pemerintahan ataupun swasta, harus menyeimbangkan perannya sebagai seorang eksekutif yang bertanggungjawab atas jalannya birokrasi modern, dan sebagai seorang bapak yang bertanggung jawab untuk mengasuh anak dan memelihara organisasi keluarga mereka agar bahagia dan harmonis.
Saya teringat Shiraishi ketika karena urusan pekerjaan saya mesti keluar-masuk kantor pemerintahan dan takjub melihat orang-orang yang begitu hormat (kadang berlebihan) pada atasannya, pada sosok bapak yang kebetulan mengepalai bidang tertentu pada departemen tertentu. Ah, Bapak!
15 Desember 2008
Ibu
...tatkala saya masih muda, saya telah gambarkan negara yang akan datang dan tanah air yang akan datang, tanah air yang kita pijak buminya itu, saya gambarkan sebagai ibu kita. Ibu, oleh karena itu kita berkata Ibu Pertiwi. Ibu, dan kita menyebutkan negara kita pada zaman dahulu, Mataram. Ibu…Dan kita pun sekarang berkata, bukan saja Mataram, tetapi Ibu Pertiwi, Ibu kita. Kita berkewajiban jikalau benar-benar kita mencintai Ibu kita ini, kita harus menyumbang pada Ibu kita ini. Di dalam ucapan-ucapan saya tatkala saya masih muda, saya berkata, kita semuanya berkewajiban untuk menyumbangkan bunga, bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita ini. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa sumbangkan melati? Berilah melati. Engkau bisa menyumbangkan apa? Bisa menyumbangkan mawar? Berilah mawar. Engkau bisa menyumbangkan apa? Bisa menyumbangkan kenanga? Berilah kenanga.
Tulisan di atas berasal dari Soekarno dalam buku Revolusi Belum Selesai Jilid 1, Halaman 388-389. Sengaja saya kutip tulisan beliau untuk mengingatkan kita semua bahwa pernah ada pemimpin besar bernama Soekarno yang begitu mencintai tanah airnya. Kata-kata dalam tulisan di atas sudah cukup membuktikan betapa beliau mencintai Indonesia, tanah air yang digambarkan sebagai seorang ibu yang harus dihormati dan dicintai, sesuatu yang kini telah terlupakan oleh kita semua, oleh mereka yang kita percayakan menjadi pemimpin kita saat ini.
Lihatlah, di saat banyak permasalahan negeri yang belum teratasi wakil kita di DPR malah sibuk menyusun undang-undang kontroversial bernama Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang kini telah disahkan oleh Presiden meski banyak mendapat reaksi keras masyarakat Bali, Papua, Sulawesi Utara, dan propinsi lainnya yang merasa terancam dengan keberadaan undang-undang porno tersebut. Jadi jelas sudah para pemimpin kita saat ini telah melupakan sejarah bahwa negara ini terbentuk dari keberagaman, bukan keseragaman. Menjadi jelas juga bahwa kita telah melecehkan Ibu kita, Ibu Pertiwi, bahkan “memperkosa”nya beramai-ramai.
Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi bukanlah produk budaya kita. Budaya kita adalah budaya yang menjunjung tinggi perempuan, bukan budaya yang merendahkan perempuan dengan menganggap perempuan sebagai kriminal karena telah membangkitkan hasrat seksual laki-laki dan oleh sebab itu perempuan sebaiknya menutup tubuhnya rapat-rapat agar tak membuat hasrat laki-laki bangkit. Ini benar-benar bodoh dan menjijikkan. Di kemudian hari kita akan melihat berbagai tindakan main hakim sendiri oleh individu atau kelompok pada sesuatu yang dianggap porno karena undang-undang membolehkan itu. Sebuah keadaan yang mengingatkan saya pada budaya asing dimana perajaman (dilempar batu sampai mati) terhadap perempuan biasa terjadi. Budaya kekerasan yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi menjadi bukti bahwa kita telah benar-benar melupakan sejarah dan budaya kita. Kita menganggap budaya asing lebih baik lalu mencoba menerapkannya di bumi pertiwi. Kita juga telah buta dan tuli, memilih pemimpin yang ternyata masih takut berkata tidak pada ketidakbenaran. Semoga Ibu Pertiwi sudi mengampuni kita yang tetap bodoh dan mau dibodohi ini.
Tulisan di atas berasal dari Soekarno dalam buku Revolusi Belum Selesai Jilid 1, Halaman 388-389. Sengaja saya kutip tulisan beliau untuk mengingatkan kita semua bahwa pernah ada pemimpin besar bernama Soekarno yang begitu mencintai tanah airnya. Kata-kata dalam tulisan di atas sudah cukup membuktikan betapa beliau mencintai Indonesia, tanah air yang digambarkan sebagai seorang ibu yang harus dihormati dan dicintai, sesuatu yang kini telah terlupakan oleh kita semua, oleh mereka yang kita percayakan menjadi pemimpin kita saat ini.
Lihatlah, di saat banyak permasalahan negeri yang belum teratasi wakil kita di DPR malah sibuk menyusun undang-undang kontroversial bernama Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang kini telah disahkan oleh Presiden meski banyak mendapat reaksi keras masyarakat Bali, Papua, Sulawesi Utara, dan propinsi lainnya yang merasa terancam dengan keberadaan undang-undang porno tersebut. Jadi jelas sudah para pemimpin kita saat ini telah melupakan sejarah bahwa negara ini terbentuk dari keberagaman, bukan keseragaman. Menjadi jelas juga bahwa kita telah melecehkan Ibu kita, Ibu Pertiwi, bahkan “memperkosa”nya beramai-ramai.
Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi bukanlah produk budaya kita. Budaya kita adalah budaya yang menjunjung tinggi perempuan, bukan budaya yang merendahkan perempuan dengan menganggap perempuan sebagai kriminal karena telah membangkitkan hasrat seksual laki-laki dan oleh sebab itu perempuan sebaiknya menutup tubuhnya rapat-rapat agar tak membuat hasrat laki-laki bangkit. Ini benar-benar bodoh dan menjijikkan. Di kemudian hari kita akan melihat berbagai tindakan main hakim sendiri oleh individu atau kelompok pada sesuatu yang dianggap porno karena undang-undang membolehkan itu. Sebuah keadaan yang mengingatkan saya pada budaya asing dimana perajaman (dilempar batu sampai mati) terhadap perempuan biasa terjadi. Budaya kekerasan yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi menjadi bukti bahwa kita telah benar-benar melupakan sejarah dan budaya kita. Kita menganggap budaya asing lebih baik lalu mencoba menerapkannya di bumi pertiwi. Kita juga telah buta dan tuli, memilih pemimpin yang ternyata masih takut berkata tidak pada ketidakbenaran. Semoga Ibu Pertiwi sudi mengampuni kita yang tetap bodoh dan mau dibodohi ini.
Langganan:
Postingan (Atom)